PERBANDINGAN
KONSEP DALAM ILMU KALAM
Makalah
Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Ilmu
Kalam
Dosen
: Andi Cahyono
Di
Susun Oleh:
Dina Rahmawati (122231049)
EriNurdiana (122231058)
Fariska
Yosi Iryanti (122231065)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan Semesta Alam.
Shalawat dan salam semoga senatiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman nanti.
Pemakalah
ingin mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan yang telah menggunakan makalah ini, serta
memberikan banyak sekali saran, masukan dan inspirasi untuk dapat lebih
efektif dalam menyampaikan hasil diskusi
oleh team pemakalah. Pikiran yang jernih, inspirasi dan ketekunan pemakalah ini
tidak akan terwujud tanpa dukungan penuh oleh sahabat dan keluarga yang dengan
kasih sayangnya memberi ketenangan dan dukungan untuk menyelesaikan makalah
perbandingan konsep dalam ilmu kalam.
Surakarta,
Desember 2013
Pemakalah
DAFTAR ISI
COVER…………….……..…..……………….………………………………………………1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Persoalan kalam lainya yang menjadi bahan perdebatan
di antara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan
manusia, sifat-sifat Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan.Masalah
ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.Ketika sibuk
menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara
pelaku tahlim, para ulama kemudian
mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenernya yang mengeluarakan perbuatan
manusia, apakah Allah sendiri?Atau manusia sendiri?Atau kerjasama antara
keduanya.Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis yang diwakili
oleh Qadariayah dan freewill yang diwakili Qadariyah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah
dan Maturidiyahmengambil sikap
pertengahan.Persoalan ini kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah
Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak?Apakah perbuatan Tuhan
itu tidak terbatas pada hal-hal uang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan
itu terbatas pada hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal
yang buruk?
B. Rumusan
Masalah
·
Apa yang di
maksud perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia?
·
Apa yang di
maksud sifat-sifat Tuhan?
·
Apa yang di
maksud kehendak mutlak dan keadilan Tuhan?
C.
Tujuan
·
Dapat menjelaskan
maksud perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
·
Dapat menjelaskan
maksud sifat-sifat Tuhan
·
Dapat menjelaskan
maksud kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.
D.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbuatan
Tuhan Dan Perbutan Manusia
a.
Perbuatan
Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam
berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang
sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk
melakukannya.
1.
Aliran
Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional,
berpendapat bahwa Perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan
baik. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan
buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan
dari perbuatan buruk itu.
Faham kewajiban Tuhan berbuat baik,
bahkan yang terbaik (ash-shalah wa
al-ashlah) mengosekuensikan aliran Mu’tazilah
memunculkan faham kewajiban Allah berikut ini :
a)
Kewajiban
Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban diluar kemampuan
manusia (taklif ma la yutaq) adalah
bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan
faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau ia
member beban yang terlalu berat kepada manusia.
b)
Kewajiban
Mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal
gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan
pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan.
Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa
yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu,
Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara
mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan
terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c)
Kewajiban
Menepati Janji (al-Wa’d) dan Ancaman (al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah
satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah.
Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduannya, yaitu keadilan. Tuhan akan
bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Oleh
karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah kewajiban Tuhan.
2.
Aliran
Asy’ariyah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi
manusia (ash-shalah wa al-ashlah)
sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah,
tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan
mempunyai kewajiban.
Karena percaya pada kekuasaan
mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa,
aliran Asy’ariyah menerima faham
pemberi beban di luar kemampuan manusia. Al-Asya’ari
sendiri dengan tegas mengatakan Al-Luma,
bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia.
3.
Aliran
Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini,
terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.
Aliran Maturidiyah Samarkand yang
juga memberikan batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Sedangkan Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan
yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban. Adapun pandangan Maturidiyah
Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat
mungkin saja.
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan,
sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan
pemberian hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada
manusia diluar batas kemampuannya (taklif
ma la yutaq), aliran Maturidiyah
Bukhara menerimanya. Tuhan kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan
kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya
aliran Maturidiyah Samarkand
mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah.
Pemberian beban yang terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya
yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.
b.
Perbuatan
Manusia
Masalah perbuatan manusia berawal
dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan
Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih
mendalam oleh aliran Mu’tazilah,
Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari perbuatan manusia adalah
keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta termasuk didalamnya manusia
sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak.
1)
Aliran Jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan
antara Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat dalam masalah
perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat
bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,
tetapi manusia mempunyai peran didalamnya.
2)
Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan
juga berhak mendapatkan hukuman atas kejahatan yang diperbuatannya.
3)
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas.
Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut
faham Qadariyah atau free will. Menurut Al-Juba’i dan Abd
Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia
sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada
Tuhan adalah atas kehendak dan kemampuannya sendiri. Perbuatan manusia bukanlah
diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan
perbuatannya.
4)
Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan
anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran
ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari pendiri
aliran Asy’ariyah, memakai teori al-kasb (perolehan). Teori al-kasbAsy’ari
dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantara daya
yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai
konsekuensi dari teori kasb ini,
manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Dan pada prinsipnya, aliran Asy-ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia
diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mewujudkannya.
5)
Aliran Maturidiyah
Ada pendapat antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan
manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariyah. Kehendak dan daya berbuat
pada diri manusia, menurut Maturidiyah
Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan
bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan
sebelumnya, tetapi sama-sama dengan perbuatannya. Oleh karena itu, manusia
dalam faham Al-Maturidi, tidaklah
sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Maturidiyah
Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja
golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk
perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk
melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta,dan manusia hanya dapat
melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. [1]
B. Sifat-Sifat
Tuhan
Ayat-ayat
Al-Qur’an telah mengisyaratkan kepada sebagian sifat-sifat yang wajib pada
Allah dan sifat-Nya yang dikehendaki oleh kesempurnaan ketuhanan-Nya.
Pertama, tentang wujudullah (adanya Alah). Ayat yang menerangkan adanya Allah
terdapat dalam surat Ar-Ra’du [13] 2, Al-Anbiya, An-Naml dan dalam surat yang
lainnya.
Kedua, tentang kekadiman Allah dan kebaqaannya.
Yaitu Allah tidak berpermulaan dan tentang kebaqaannya diungkapkan dalam
beberapa ayat Al-Qur’an surat Al-Hadid [57]:3.
Ketiga, tentang mukhalafatullahi lil hawaditsi (tidak bersamaan Allah dengan
makhluk-Nya). Sifat Allah ini diungkapkan dalam surat Al-Ikhlas.
Keempat, qiyammullahi ta’ala
binafsihi
(tentang Allah menyelesaikan segala sesuatu dengan dirinya, tidak memerlukan
sesuatu makhluk). Qs. Fathir [35]: 15
Kelima, tentang wahdaniyatullahi
ta’ala (tentang keesaan Allah). Sifat ini diungkapkan dalam beberapa ayat
Al-Qur’an (QS. An-Naml 27:53, QS. Al-Maidah 5:74 dan masih banyak surat
lainnya) dan sungguh banyak ayat yang menerangkan tentang ke-Esaan Allah baik
pada zat-Nya, pada sifat-Nya, dan pada perbuatan-Nya. Tak ada yang memelihara
selain-Nya.
Keenam, tentang kudrat Allah (kekuasaan Allah). Banyak ayat Al-Qur’an yang
menegaskan bahwa Allah maha kuasa dan kuasanya berlaku menurut kehendak-Nya.
(QS. Al-Had 22:1, 7. QS. Al-Kahfi 18:31, dll)
Ketujuh, tentang iradah Allah (kehendak Allah). Ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa
Allah berkehendak dan kehendak-Nya itu mutlak, tak ada yang memalingkan
kehendak-Nya itu, yaitu Qs. Yasin 36:82. Qs. Al-Isra’ 17:16. Qs. An-Nisa’ 4:4,
dll).
Kedelapan, tentang ilmu Allah. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan bahwa
Allah berilmu, mengetahui segala-galanyabaik nyata atau yang tersembunyi, baik
yang besar maupun kecil. (Qs. Saba’ 34:2, Qs. A’raf 7:88, Qs. Luqman 31:16).
Kesembilan, hayyatullah (hidup). Banyak ayat Al-Qur’an yang
menerangkan bahwa Allah senantiasa hidup bersifat dengan kehidupan yang
sempurna yang tak ada kesempurnaan yang melebihi-Nya. (Qs. Al-baqarah 2:255,
Qs. Ali Imran 3:4).
Kesepuluh, tentang sama’ Allah dan Bashar-Nya
(mendengar dan melihat). (Qs. Al-Mujadalah 58:1, Qs. Al-Alaq 96:74).
Kesebelas, tentang kalamullah. Bahwa Allah berkata-kata dan Allah bersifat dengan
kalam. (Qs. An-Nisa’ 4:164, Qs. Al-Baqarah 2:75).[2]
Dalam
hal ini yang menjadi perdebatan diantara aliran kalam adalah masalah
sifat-sifat Tuhan. Ini tampaknya dipicu oleh truth claim[3] yang dibangun atas
dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan Allah. Tiap-tiap
aliran mengaku bahwa fahamnya dapat menyucikan dan memelihara keesaan Tuhan.
Perbedaan
antara aliran kalam temtang sifat-sifat Allah tidak terbatas pda persoalan
apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan
cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme
melihat Tuhan, dan esensi Al-Qur’an.
1.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan denganmengatakan bahwa
Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisinya tentang Tuhan bersifat negatif. Tuhan
tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat,
dan sebagainya. Ini tidak berarti Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak
berkuasa, dan sebaginya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya,
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan.
2.
Aliran Asy’ariah
Aliran
ini membawa penyelesaian yang berlawanan dengan faham mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat. Menurut Al-asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat
karena perbuatan-perbuatan-Nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui,
menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa ia mempunyai
pengetahuan, kemauan dan daya. Al-asy’ari lebih jauh berpendapat bahwa Allah
memiliki sifat-sifat dan sifat-sifat itu, seperti memiliki tangan dan kaki,
tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. Selanjutnya
al-asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik dan tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah
berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) – tidak
terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.
3.
Aliran Maturidiyah
Maturidiyah
Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan memiliki
sifat-sifat. Maturidiyah Bukhara juga
berpendapat Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi takwil.Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai mata dan
tangan, bukanlah Tuhan mempunyai anggota badan.[4]
C. Kehendak
Mutlak Tuhan Dan Keadilan Tuhan
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan
adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.Sebagai pencipta alam,
Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek
yang ada itu.Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang
tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui
eksistensi-Nya ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan unik.[5]
Adapun beberapa aliran yang perpendapat tentang
kemutlakan dan keadilan Tuhan, antara lain;
1.
Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan
itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada
hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat
perbuatannya.Aliran Mu’tazilah
mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi.Ketidak mutlakan
kekuasaan Tuhan itu di sebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap
manusia serta adanya hukum alam (sunatullah)
yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah.
Kebebasan manusia yang memang diberikan Tuhan
kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak
mutlaknya.Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri terikat pada
norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau
zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah,Tuhan
tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah
terbatas. Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah,
mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.[6]
Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan
dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu
baik.Kebaikan itu bermakna bila Tuhan tidak berbuat zalim dengan membebani
manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan
tanpa member kebebasan terlebih dahulu.Keadilan Tuhan terletak pada keharusan
adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi makhluk dan member kebebasan kepada manusia.Adapun kehendak
mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
2.
Aliran Asy’ariah
Kaum Asy’ariyah, karena percaya pada
kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai
tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasan
dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang
lain. Keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap mahluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.Tuhan dapat member
pahala kepada hamba-Nya atau member siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu
semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak dapat
berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah penguasa mutlak.Sekiranya Tuhan
menghendaki semua makhluk-Nya masuk ke dalam surge atau pun neraka, itu adalah
adil karena tuhan berbuat dan membuat hokum menurut kehendak-Nya.[7]
Aliran Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak
dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
haruslah berlaku semutlak-mutlaknya.Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri
menghendaki agar manusia berkehendak.Makna keadilan Tuhan dengan pemahaman
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap mahkluk-Nya da dapat berbuat
sekehendak hati-Nya.
3.
Aliran
Maturidiyah
Dalam memahami
kehendak mutlak dan keadilan tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.Maturidiyah Samarkandmempunyai posisi yang lebih deket kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan
batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang
diberikan aliran Mu’tazilah.
Kehendak mutlak
menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi
oleh keadilan Tuhan.Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya
adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.Adapun Maturidiyah Bukharaberpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak.Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan
bagi Tuhan.Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan
terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa
daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya.Tampak, aliran Maturidiyah Samarkandlebih dekat dengan Asy’ariyah.Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah
difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
4.
Ibnu Rusyd
Dalam soal baik dan buruk ia lebih condong kepada
pendapat aliran Mu’tazilah, tetapi
dalam soal keburukan dunia, pendapat berbeda. Ia mengatakan bahwa baik dan
buruk kesemuanya dijadikan Tuhan dan dikehendaki-Ny pula. Kalau dalam baik,
baik itu sendiri yang dituju, tetapi dalam buruk, bukan buruk itu sendiri yang
dituju, tetapi karena ia sebagai jalan kepada kebaikan.[8]
Ibnu Rusyd sependapat juga dengan aliran Mu’tazilah, bahwa Tuhan tidak menghendaki dan tidak mengadakan
kekafiran bagi hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Tuhan mengadakan kekuatan yang bias
digunakan untuk kedua hal yang berlawanan (iman dan kafir).[9]
Contoh kasus:
Sesungguhnya Allahlah yang
menciptakan perbuatan-perbuatan yang ada dalam diri manusia, seperti
gerak yang diciptakan Allah dalam seluruh benda-benda mati. Manusia dikatakan
berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi seperti pohon
berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam, langit
cerah dan mendung serta hujan dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perbuatan Tuhan dan
Perbuatan Manusia
Semua aliran
dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan
disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan
untuk melakukannya.Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana
yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah
(pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Akar dari perbuatan
manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta termasuk
didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak
yang bersifat mutlak.
Sifat-Sifat Tuhan
Perbedaan antara aliran kalam temtang sifat-sifat Allah
tidak terbatas pda persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi
juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan
esensi Al-Qur’an.
Kehendak Mutlak Tuhan
Dan Keadilan Tuhan
Pangkal
persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai
pencipta alam semesta.Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala
yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu.Ia adalah eksistensi
yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada
eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya ia difahami sebagai
eksistensi yang esa dan unik.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. 2001. Teologi
Islam (Ilmukalam).Bulan Bintang. Jakarta.
Rozak, Abdul Dan Rosihon Anwar. 2013. Ilmu
Kalam Edisi Revisi.
CV Pustaka Setia. Bandung
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 2009. Sejarah
&Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. PT Pustaka Rizki
Putra. Semarang.
Rozak ,Abdul Dan Rosihon Anwar. 2011. Ilmu
Kalam. CV Pustaka Setia. Bandung.
[1] Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia,
Bandung, 2011, hlm. 153-166.
[2] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy. Sejarah &Pengantar
Ilmu Tauhid/kalam. Semarang. PT.
Pustaka Rizki Putra. 2009. Hlm 152-154
[4]Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar. Ilmu Kalam edisi revisi. CV Pustaka Setia. Bandung. 2013. Hlm 213
[5]Rosihon
anwar, adbul rozak.opcit. Hlm. 181
[8]Ahmad
hanafi.Teologi Islam(Ilmu Kalam).jakarta.bulan
bintang. 2001. Hlm. 171
No comments:
Post a Comment