TAFSIR BI AL-RA’YI
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Tafsir
Dosen: Muh. Julijanto, M.Ag
Di Susun Oleh:
Nama : Fariska Yosi Iryanti
Nim : 122231065
Kelas : PBS-B
PRODI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMIKA DAN BISNIS ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
KATA
PENGANTAR
Allhamdulillah,
patut dipanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi atas selesainya penulisan
makalah ini. Kita yakin, tanpa taufik dan hidayah-Nya, tak mungkin tulisan ini
dapat dirampungkan. Shalawat dan salam di persembahkan kepada Nabi Besar
Muhammad saw, semoga beliau senantiasa dirahmati Allah.
Belakangan ini kajian tentang wanita
semakin marak. Banyak yang mempublikasikan kegiatan-kegiatan dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan wanita. Makalah ini mencoba mendalami
pemahaman-pemahaman yang dibawa oleh Al-Quran berkenaan dengan kaum wanita. Dan
makalah ini diharapkan dapat menghadirkan pemahaman yang tepat dan komprehensif
tentang wanita sebagaimana dideskrpsikan di dalam Al-Quran.
Demikian, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam rangka memperkaya khazanah
intelektual islami kita berkenaan dengan konsepsi wanita dalam Al-Quran
Surakarta,
Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Cover 1
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
Pembahasan 4
Penciptaan
Dan Status Wanita Menurut Al-Quran 5
Perbedaan
Dan Kesamaan Wanita Dengan Pria 6
Hak
Dan Kewajiban Wanita 9
Poligami
12
Busana
Muslimah 14
Penutup 16
Kesimpulan
16
Daftar Pustaka 17
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sudah
dimaklumi bersama bahwa Al-Quran hanya turun selama masa tasyri, yakni sekitar dua dasawarsa, tepatnya sampai Rasulullah
wafar pada tahun 632 M. itu berarti, sejak sepeninggalan beliau sampai sekarang
Al-Quran tidak pernah turun lagi. Dengan demikian, apa yang telah diturunkan
Allah 15 abad yang silam itu tak akan pernah berubah, apalagi bertambah, juga
tidak pernah mengalami revisi. Bahkan, satu titik pun tidak ada perbedaan
antara Al-Quran yang kita jumpai sekarang dengan yang turun dimasa tasyri itu.
Sementara
itu, masyarakat atau umat senantiasa berubah dan berkembang, bahkan laju
perkembangannya, terutama di abad modern seperti sekarang, terasa sangat cepat
dalam berbagai bidang, baik fisik-material maupun mental-spiritual. Hal itu terutama disebabkan oleh
penemuan-penemuan yang spektakuler di bidang IPTEK sehingga membuat kehidupan
umat makin maju dan dinamis.
B.
Rumusan
·
Apa yang di maksud penciptaan dan status
wanita menurut Al-quran?
·
Apa perbedaan dan persamaan wanita
dengan pria?
·
Apa hak dan kewajiban wanita?
·
Apa itu poligami?
·
Bagaimana busana muslimah itu?
C.
Tujuan
·
Dapat menjelaskan penciptaan dan status
wanita menurut Al-quran.
·
Dapat menjelaskan perbedaan dan
persamaan wanita dengan pria.
·
Dapat menjelaskan hak dan kewajiban
wanita.
·
Dapat menjelaskan poligami.
·
Dapat menjelaskan busana muslimah.
PEMBAHASAN
A.
Penciptaan
Dan Status Wanita Menurut Al-Quran
Bahwa eksistensi wanita di alam ini
diakui oleh Al-Quran adalah suatu kenyataan yang tak dapat dibantah. Bila kita
amati ayat-ayat Al-Quran dari awal sampai akhir, akan ditemukan tak kurang dari
85 kali Tuhan menyebut lafal “wanita”, seperti niswat, nisa’, imraat dan sebagainya.[1]
Wanita menurut Al-Quran, bukan
diciptakan dari tulang rusuk Adam melainkan dari unsur yang sama dengan unsur
Adam, yaitu tanah. Maka hadist Nabi yang menginformasikan bahwa wanita
diciptakan dari tulang rusuk Adam perlu diberi penjelasan yang memadai agar
tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahaminya.[2]
Itu berarti, wanita dan pria itu adalah
setara; tak ada kelebihan yang satu dari yang lain dari segi asal kejadian.
Namun, bagaimanapun juga, antara keduanya makhluk itu tetap ada perbedaan yang
sangat mendasar, baik dari segi fisik maupun mental sebagaimana tersirat di dalam
hadist yang dikutip di muka. Tetapi perbedaan tersebut hanya sekedar untuk
membedakan kelompok masing-masing, tidak menunjukan yang satu lebih mulia dari
yang lain, atau yang satu lebih berkuasa dari yang lain.[3]
Pria dan wanita, satu sama lain, saling
melengkapi dan saling membutuhkan. Tak pernah Al-Quran menyatakan yang satu
lebih mulia dari yang lain. Tuhan menginginkan terciptanya suasana kebersamaan
dan saling menghormati antara pria dan wanita agar tercipta suatu masyarakat
muslim yang kompak dan bersatu padu. Dengan tercipta kondisi yang demukian maka
akan terbuka kesempatan yang amat luas bagi pengembangan diri pribadi, keluarga
dan masyarakat, demi meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[4]
B.
Perbedaan
Dan Persamaan Wanita Dengan Pria
Perbedaan
Wanita Dan Pria:
1. Fisik.
Tak seorang pun
dapat menyangkal bahwa fisik dan postur tubuh wanita berbeda sekali dari pria.
Kalau tubuh wanita tampak lemah-gemulai, halus, cantik-jelita dan sebagainya,
maka tubuh pria sebaliknya: kasar, tegap dan kekar, gagah-perkasa, dan
sebagainya.[5]
2.
Tabi’at.
Kalau tabi’at wanita
lemah lembut, budi bahasa yang halus, suara yang merdu, dan sebagainya, maka
pria sebaliknya, yakni keras, kasar, pemberani, suara besar dan sebagainya.[6]
3. Tugas
Dan Tanggung Jawab.
Tugas-tugas seperti hamil, melahirkan,
menyusui dan sebagainya, adalah tanggunga jawab kaum wanita, tak dapat
diserahkan kepada kaum pria. Tapi, menyediakan nafkah dan semua fasilitas serta
kebutuhan wanita(istri) adalah tugas pria. Karena itulah, dia dipercayakan
menjadi pemimpin keluarga sebagaimana yang di tegaskan Allah di dalam surat
al-Nisa’:34. Jadi keselamatan dan penyediaan semua kebutuhan keluarga adalah
tugas dan tanggung jawab pria(suami), sementara pelaksanaan tugas tersebut di
dalam keluarga seperti merawat, mendidik serta mengasuh anak dan sebagainya
lebih banyak terpikul di pundak kaum wanita(istri).[7]
Persamaan Wanita Dengan Pria:
1. Status
Dari
segi asal-usul kejadiannya, telah diakui bahwa wanita sama dengan pria. Namun, yang
dipersilihkan oleh ulama ialah tentang teknis penciptaannya, apakah dari tanah
seperti Adam atau dari diri Adam sendiri.[8]
2. Tanggung
Jawab
Tanggung
jawab dalam suatu tugas, baik wanita maupun pria, adalah sama. Artinya, di
hadapan hukum, kedua insan yang berlainan kelamin itu tidak berbeda. Baik
Al-Quran maupun hadist, keduanya menjelaskan kesamaan status wanita dan pria di
muka hukum. Kedua jenis itu tidak ada perbedaan, kecuali dari segi
besar-kecilnya hukuman sesuai tindakan kejahatan yang dilakukan. Demikian juga
pula upah amal, keduanya juga sama-sama berhak memperolehnya sesuai dengan amal
masing-masing.[9]
3. Memperoleh
Pendidikan
Islam menganjurkan agar anak-anak
perempuan di didik sebaik-baiknya. Al-Quran secara tidak langsung, di dalam
ayat 35 dari Al-Ahzab, mengisyaratkan perlunya wanita dididik secara baik,
sebab tak mungkin mendapatkan wanita yang muslimah, mukminah, serta patuh dan
tunduk terhadap ajaran Allah tanpa didikan yang baik.[10]
4. Mendapatkan
Pekerjaan
Dalam
memperoleh pekerjaan yang layak, pria dan wanita juga mempunyai hak yang sama.
Tentu saja, hal itu disesuaikan dengan kodrat masing-masing. Artinya, pekerjaan
yang sifatnya kasar dan berat tentu bukan bidangnya wanita, karena secara fisik
mereka tidak sekuat kaum pria. Jadi, secara kodrati wanita dapat diserahkan
pekerjaan-pekerjaan yang ringan sesuai dengan kemampuan mereka, namun tidak
berarti mereka haram mengerjakan pekerjaan yang berat dan kasar. Perbedaan
tersebut lebih mengacu pada fungsi wanita sebagai ibu rumah tangga dan perhiasan
dalam kehidupan.[11]
5. Hak
Mengeluarkan Pendapat
Al-Quran
selalu menghargai kebeneran. Laki-laki atau perempuan, tidak pernah dihalangi
untuk mengeluarkan pendapat, idea tau gagasan. Wanita bebas mengeluarkan
pendapat tanpa harus merasa kerdil di hadapan laki-laki dan sebagainya karena
mereka mempunyai hak dan status yang sama di sisi Allah.[12]
6. Hokum
Kisas Dan Tebusan (Diyat)
I.
Kisas
Hokum
kisas terhadap wanita juga berlaku sebagaimana berlakunya terhadap pria.
Artinya, tak ada perbedaan antara kedua jenis kelamin yang berbeda itu dalam
kasus ini.[13]
II.
Tebusan
Wanita
juga diwajibkan membayar tebusan(diyat)
seperti laki-laki disebabkan tersalahnya melakukan pembunuhan, telah menjadi
kesepakatan ulama sesuai sengan firman Allah.[14]
7. Penyiaran
Islam
Pada masa Nabi, ‘Aisyah Ummul Mukminin
sering diserahi tugas-tugas yang berkaitan dengan wanita, yang Nabi sendiri
sulit untuk memjelaskannya, apalagi bila hal itu berkaitan dengan kasus-kasus
yang spesifik wanita seperti haid, nifas, dan sebagainya sehingga ‘Aisyah
terkenal sebagai seorang wanita yang paing banyak meriwayatkan hadist dan lebih
banyak tau tentang fikih daripada wanita-wanita lainya. Jadi, pria dan wanita,
bagi kehidupan umat dimuka bumi ini, bagaikan dua sayap bagi burung. Kedua
sayapnya itu harus dapat berfungsi baik secara baik jika ingin selamat sampai
tujuan. Demikian pula kehidupan di muka bumi ini, jika ingin selamat sampai ke
akhirat maka kedua jenis umat ini, laki-laki dan perempuan harus berfungsi
dengan baik dan bekerja sama demi meraih cita-cita bersama yaitu hasanat fi al-dun-ya wa hasant fi
al-akhirat.[15]
C.
Hak
Dan Kewajiban Wanita
a. Hak
Kata “hak” berasal dari bahasa Arab
“haqq” yang berarti “benar”, atau lawan dari “bathil”, seperti di dalam firman
Allah “Yang benar itu dari Tuhan, maka jangan kamu masuk orang-orang yang
ragu”. Dari berbagai konotasi tampak pengertian “milik dan kekuasaan” lebih
dekat kepada pemahaman kata”hak”.[16]
b. Kewajiban
Hak
dan kewajiban wanita ialah milik atau kekuasaan dan tugas yang harus
dilaksanakan oleh wanita.[17]
c. Hak-Hak
Wanita
1)
Waris
Islam
dengan amat bijaksana memberikan kepada mereka(wanita) hak waris dengan cara
yang sangat tepat dan adil. Namun yang menjadi persoalan di sini ialah wanita
mendapat separoh dari bagian laki-laki, padahal Islam telah mengatakan bahwa
status wanita dan pria sama, tapi dalam pembagian harta warisan, kenapa
berbedaan?[18]
Apabila
direnungkan lebih jauh, sebenernya perbedaan pembagian harta warisan satu
berbendingan dua(1:2). sebagaimana disyari’atkan oleh Islam seperti ditegaskan
dalam ayat-ayat Al-Quran di atas, tidak didasarkan pada saat status seseorang,
melainkan atas dasar tugas dan tanggung jawab. Dalam hal ini, kaum pria
mendapat beban jauh lebih berat daripada yang dipikulkan di atas pundak kaum
wanita. Boleh dikatakan semua tugas kerumah-tanggan, kecuali mengandung,
melahirkan dan menyusui, adalah terpikul di pundak pria.[19]
Bahkan
untuk menyusui anak kandungnya sendiri pun sang istri harus diupah oleh
suaminya. Jadi, dalam hal ini sang istri mempunyai tanggung jawab yang ringan,
khususnya dalam memberi nafkah keluarga, malah semua kebutuhannya, mulai
makanan, pakaian dan perumahan harus dipersiapkan oleh suaminya. Jadi
logikanya, kalau wanita mendapat separoh dari harta peninggalan, pada
hakikatnya jauh lebih besar dari pembagian pria sebab kekayaan pria pada
akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan
sebagaimana telah habis, sebaliknya, kekayaan wanita tetap utuh, tak berkurang,
karena bila ia telah bersuami dia tak punya kewajiban untuk member nefkah
kepada dirinya dan anak-anaknya.[20]
2)
Kesaksian
Kebolehan
wanita menjadi saksi sebagaimana di tegaskan dalam ayat 282 dari surat
Al-Baqarah, memperkokoh keyakinan bahwa Allah memang konsisten dakam mengangkat
derajat kaum wanita sama dengan derajat kaum pria, sehingga masalah transaksi
yang mempunyai resiko tinggi pun mereka di ikutsertakan sejajar dengan pria.[21]
3)
Menentukan Jodoh
Menentukan
atau memilih jodoh termasuk hak azazi manusia yang dihormati di dalam ajaran
Islam, karena itu Islam member hak tersebut sama kepada pria dan wanita. Dengan
perkataan lain, jika pria dibebasan dalam memilih calon istrinya, maka wanita
pun berhak pula menentukan calon suaminya di antara pria yang disukainya. Jadi,
wali atau orang tuanya tak punya hak untuk memaksa anaknya sebagaimana sering
terjadi di masa Jahiliah sebelum kedatangan Islam. Dan kebebasan wanita dalam
memilih calon suaminya tetap harus terkendali, tidak menyimpang apalagi
bertentangan dengan ajaran agama.[22]
4)
Menentukan Maskawin
Maskawin
merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam perkewinan. Maskawin ialah”sejumlah harta yang diberikan oleh mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan”.[23]
Sebagaimana
dikisahkan Allah dalam Al-Quran, ketika Syu’aib hendak menikahkan putrinya
dengan Nabi Musa a.s., ia meminta Musa agar membayar maskawinnya dengan bekerja
padanya selama delapan tahun. Kemudian oleh Al-Quran, syari’at yang telah
diberlakukan pada umat yang lalu itu diteruskan, sehingga sampai sekarang
pemberian maskawin dalam suatu perkawinan telah menjadi tradisi yang membudaya.
Dalam
kaitan ini Rasulullah senantiasa memberikan mahar yang cukup kepada
istri-istrinya, yang menurut riwayat dari Aisyah berjumlah sekitar 500 dirham.
Berdasarkan argument dan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa maskawin merupakan suatu keharusan yang wajib dibayar
oleh suami kepada istrinya sebagai penghormatan terhadap martabat wanita, tidak
untuk membelinya dengan uang sejumlah itu. Jika demikian, maka wanita (calon
istri) mempunyai hak penuh dalam menentukan berapa besar mahar yang diinginkan.
Mengingat
mahar adalah hak prerogative wanita, maka kewajibannya tergantung kepada si
wanita itu sendiri. Artinya jika si wanita mau saja dikawini oleh pria tanpa
mahar, tak ada yang dapat mencegahnya. Sebaliknya, jika ia bertahan tak akan
kawin tanpa mahar, juga tak ada yang berhak memaksanya. Itulah yang dimaksud
bahwa maskawin adalah hak penuh si wanita, tak seorang pun dapat menganggu atau
mencampurinya.[24]
5)
Memperoleh Pangan, Sandang Dan Papan
Jika
ajaran Islam, terutama berkenaan dengan wanita, dihayati secara jeli, maka akan
ditemui bahwa Islam menginginkan wanita itu hidup dengan tentram dan
bersenang-senang di tengah keluarga tanpa memikirkan apa-apa tentang pangan,
sandang dan papan, kecuali hanya diminta menjaga diri, harta dan anak-anak
mereka. Hal itu dimungkinkan karena semua yang berhubungan dengan kebutuhan
rumah tangga itu telah dijamin oleh Islam dengan membebankannya kepada
suami(pria). Jadi, wanita tidak dituntut untuk memikul tanggung jawab itu.[25]
d. Kewajiban
Wanita
Kewajiban
wanita adalah tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh wanita.
Apabila diperhatikan dengan seksama berbagai ayat dalam Al-Quran dan hadist
Rasul, maka ditemukan kaum wanita diberi tugas untuk mengasuh anak-anak menjaga
dan memelihara kekayaan rumah tangga. Tugas semacam ini kedengaran remeh dan
tak bernilai di mata umat. Padahal pekerjaan ini sangat mulia dan strategis
sekali karena keberhasilan seseorang dalam hidup dan kehidupan setelah dewasa
sering ditentukan oleh pengalaman yang diterimanya selama dalam asuhan
ibundanya, terutama ketika masih dalam umur belita (di Bawah Lima Tahun)
sebagaimana diakui oleh psikolog kenamaan, Zakiah Daradjat.[26]
D.
Poligami
A Poligami
Sebelum Islam
Tidak
dapat dipungkiri bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw yang membawa
Islam, agama samawi, umat terdahulu telah mempraktikkan system poligami. Cukup
banyak fakta sejarah yang membuktikan kebeneran tesis ini. Di dalam agama
samawi yang lain seperti Yahudi dan Kristen juga tak ada larangan berpoligami.
Bahkan, dalam agama Yahudi, sebagaiman dikutip Al-Sib’I, kebolehan berpoligami
terbatas.
Berdasarkan
fakta sejarah, kita dapat berkata bahwa system poligami seperti yang
dipraktikan oleh umat pada abad modern sekarang, termasuk Islam, merupakan
kelanjutan dari syaria’at yang diamalkan oleh umat-umat terdahulu. Malah dalam
Islam, pelaksanaannya jauh lebih teratur dengan persyartan-persyaratan yang
ketat, tidak boleh dilakukan semaunya sebagaimana dimasa silam. Jadi tidak
benar anggapan yang menyatakan bahwa system poligami adalah ajaran Islam saja
dan bahkan dikatakan Muhammadlah yang mempeloporinya. [27]
B Poligami
Dalam Islam
Tuhan
memperbolehkan kawin sampai jumlah empat orang itu merupakan jalan keluar atau
solusi agar tidak mengganggu, apalagi menzalimi, hak-hak anak yatim. Namun
untuk mengawini wanita lebih dari satu orang itu tidak gampang begitu saja,
harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, antara lain sanggup berlaku
adil. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, maka seseorang tidak dibolehkan
mengawini wanita lebih dari satu orang.
Dengan
ditetapkannya persyaratan yang ketat serupa itu, maka tampak dan terasa sekali
betapa Islam sangat memperhatikan hak-hak wanita secara mendasar sehingga kaum
“hawa”. Hak semacam itulah yang tidak diatur di masa silam, sehingga terjadilah
poligami tanpa batas sebagaimana telah diungkapkan di muka, yang membuat kaum
wanita menderita di bawah bayangan kaum pria karena tak berdaya menghadapinya.
Meskipun
Islam membolehkan perpoligami, namun tidak berarti Islam member dispensisasi
itu secara bebas kepada setiap pria. Dalam hal ini ada aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh mereka yang akan melakukan
poligami, seperti tersebut di dalam kitab-kitab kitap fikih. Di Indonesia, ketentuan
tentang poligami ini diatur oleh undang-undang No. 1/1974 tentang perkawinan,
khususnya bab I pasal 3 s/d 5 dan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya
(PP) No. 9/1975, bab VII, pasal 40 s/d 44. Semua ijtihad ulama fikih dan
aturan-aturan yang ditetapkan di dalam undang-undang No. 1/1974 serta PP. No.
9/1975 itu mengacu pada satu tujuan, yakni menjaga kehormatan dan hak-hak
wanita agar tidak diinjak-injak oleh kaum pria.
Dalam
ayat 3 surat Al-Nisa’ itu paling tidak ada dua ide mendasar. Pertama, kebolehan
berpoligami itu merupakan solusi dari problem social yang hidup ditengan
masyarakat. Kedua, anjuran untuk menikahi wanita lebih dari seorang bukan
merupakan perintah mutlak melainkan kondisioanal.
Dalam
pergaulan bebas, apalagi dengan disyahkannya undang-undang tentang homoseksual,
jauh lebih jelek dan merusak moral daripada system poligami sebagaimana tealh
terasa dampaknya di seluruh dunia berupa makin mewabahnya penyakit AIDS yang
amat mengerikan. Setelah memperhatikan ekses negative akibat penyimpangan
seksual. Maka jelaslah bahwa solusi yang di berikan oleh Islam jauh lebih
terhormat, lebih baik dan manusiawi.
Pada
hakikatnya system poligami itu memberikan keuntungan bagi kaum wanita, selama
hal itu tidak di salah gunakan oleh pria. Dalam hal ini, tepatlah apa yang di
katakana Muthahhari bahwa poligami sebenernya adalah bagain dari hak-hak kaum
wanita, agar mereka menjadi terhormat dan tidak di permainkan seperti boneka
oleh tangan jahil kaum pria. Jadi dalam kondisi darurat sebagaiman digambarkan
itu, seorang istri harus pula bersikap toleran tidak mau menangnya sendiri.
Sadarilah bahwa selain anda, ada wanita lain yang juga amat membutuhkan
pengayoman dari seorang suami.[28]
E.
Busana
Muslim
Suatu hal yang patut disyukuri sejak
zaman Orde Baru yang lalu ialah timbulnya kebanggaan para ibu dan wanita
Indonesia pada umumnya memakai pakaian muslimah atau apa yang popular dengan
sebutan ‘jilbab’. Pada zaman Orde Lama dulu wanita yang memakai jibab dianggap
kolot, terbelakang, tidak modern, dan sebutan-sebutan sinis lainnya. Karena
itu, mereka merasa lebih bergengsi dan terhormat jika tidak memakai pakaian
muslimah itu. Oleh karena itu, pakaian muslimah jarang sekali terpakai kecuali
untuk pergi beribadah seperti shalat ke masjid atau hari raya ke lapangan,
takziah dan sebagainya.[29]
Kondisi ini sekarang berubah total. Jika
dulu wanita muslimah merasa kerdil dan sebagai orang pinggiran bila memakai
pakaian muslimah, maka sekarang kebalikannya, yakni mereka merasa lebih
berwibawa dan terhormat dengan pakaian jilbab.
i. Pengertian
Kata jilbab,
jamaknya jalabib, berasal dari
Al-Qur’an seperti termaktub di dalam surat Al-Ahzab ayat 59. Secara lughawi,
kata ini berarti “pakaian(baju kurung
yang longgar)”. Jilbab adalah model pakaian wanita yang menutup keseluruhan
tubuhnya, sehingga yang terlihat hanya kedua matanya saja. Sesuai dengan maksud
ayat 59 dari Al-Ahzab, bahwa yang wajib memakai jilbab ialah para wanita, bukan
pria.[30]
ii. Konsepsi
jilbab di dalam Al-Qur’an
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:[31]
·
Islam mensyari’atkan pemakaian jilbab
dalam upaya menjaga martabat, kesucian dan kehormatan kaum wanita.
·
Kewajiban memakai jilbab hanya bagi
wanita-wanita muslimah yang sudah dewasa (telah mulai haid).
·
Islam sengaja tidak menentukan modal
tertentu dalam berjilbab agar umat lebih bebas dalam berkreasi sehingga tidak
membosankan karena yang dipentingkan ialah menutup aurat, bukan model
pakaiannya.
·
Berpakaian dengan busana muslimah
merupakan wujud dari rasa patuh dan taat kepada Allah. Dengan demikian,
pemakaiannya memperoleh pahala dari-Nya selama diiringi dengan niat yang iklas.
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Qur’an maupun hadist telah
menempatkan kaum wanita pada posisi yang mulia dan terhormat. Dengan demikian,
wanita dalam Islam menduduki posisi strategis dan ikut menetukan dalam upaya
mencapai keberhasilan, baik untuk kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Islam
memperlakukan kaum wanita sama dengan pria. Dalam arti, bahw wanita mempunyai
hak dan tnggung jawab yang sama dengan pria, meskipun bidang dan porsinya
berbeda-beda.
Tak ada larangan bagi kaum wanita
untuk melakukan aktifitas dalam berbagai lapangan kehidupan, mulai dari
perkerjaan rumah tangga, mengasuh anak, melayani suami, terus pekerjaan yang
dan jabatan yang tinggi di luar rumahh boleh di duduki oleh wanita. Islam
membukakan semua itu kepada wanita, sebagaimana yang dibolehkan kepada pria. Wanita
harus mendapat tempat dan kedudukan yang layak di tengah masyarakat sesuai
dengan kodrat dan martabat mereka sebagai feminin.
Islam dengan tegas menghormati hak
asasi manusia sejak mulai dia turunkan Allah, sehingga wanita dan pria diberi
hak yang sama; baik dalam mendapatkan suatu pekerjaan, menikmati kesenangan
hidup dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa islam tidak hanya
memuat masalah-masalah ibadah yang merupakan hubungan vertical kepada Allah,
melainkan juga berisi masalah-masalah social yang secara horizontal menjalin
hubungan dengan sesame manusia.
Islam dalam menangani masalah
kewanitaan tampak sangat rasional dan proporsional. Mulai dari penciptaan dan
penataannya, sampai pemberian hak dan tanggung jawab(kewajiban).
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Nasharuddin Baidan. 1999. Tafsir Bi Al-Ra’yi Upaya Penggalian Konsep
Wanita Dalam Al-Qur’an Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita Dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
[1] Nashrudin baidan. Tafsir bi
al-ra’yi upaya penggalian konsep wanita dalam al-quran mencermati konsep
kesejajaran wanita dalam al-quran. Yogjakarta. Pustaka pelajar. 1999. Hlm. 5-10
[3] Ibid. hlm. 11
[5] Ibid. hlm. 23-24
[6] Ibid. hlm. 24
[7] Ibid. hlm. 26-27
[9] Ibid. hlm.29-32
[10] Ibid. hlm. 32
[11] Ibid. hlm. 34
[12] Ibid. hlm. 42
[13] Ibid. hlm. 44-47
[14] Ibid. hlm. 47
[15] Ibid. hlm. 48-50
[17] Ibid. hlm. 56
[18] Ibid. hlm. 61-64
[19] Ibid. hlm. 64-65
[20] Ibid. hlm. 65
[21] Ibid. hlm. 68-69
[22] Ibid. hlm. 71-76
[23] Ibid. hlm. 76
[24] Ibid. hlm. 77-80
[25] Ibid.hlm. 80
[26] Ibid. hlm. 83-84
[27] Ibid. hlm. 95-97
[28] Ibid. hlm. 98-114
[29] Ibid. hlm. 117
[30] Ibid. hlm. 118-119
[31] Ibid. hlm. 119-133
No comments:
Post a Comment