MAKALAH
IJTIHAD DALAM ISLAM
UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH
“METODOLOGI
STUDY ISLAM”
DOSEN :
DRS.AH
KHOLIS H .M.AG
DI SUSUN
OLEH KELOMPOK 6 PBS-B:
1. FARISKA
YOSI IRYANTI 122231065
2. FARIDHA NUR AZIZAH 122231064
3. FARADILA
N.A 122231063
4. KHUSNUL DIAN 122231088
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SURAKATRA
TAHUN
AJARAN 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rosulallah Saw,Tuhan yang
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Atas berkat rahmat dan
hidayahnyalah sehingga penulis makalah ini dapat terselesaikan. Kehadiran
makalah ini diharapkan dapat melengkapi tugas dalam methodology study islam.
Materi-materi yang disajikan dalam makalah ini, di samping di saring dari
berbagai referensi yang memuat informasi mengenai ijtihad para ulama, terutama
yang berkaitan dengan pendapat-pendapatnya.
Makalah
tentang ijtihad dalam islam ini akan menjelaskan tentang pengertian ijtihad dan
ruang lingkupnya. Di harapkan pembaca makalah ini dapat memahami makna-makna
ijtihad.
Kami
mengucapkan terima kasih atas kerjasama team yang akhirnya dapat menyelesaikan
makalah ini .
Sukoharjo,
30 Mei 2013
Kelompok
6
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR 2
DAFTAR
ISI 3
PENDAHULUAN
4
PEMBAHASAN
5
PENGERTIAN IJTIHAD 5
DASAR-DASAR IJTIHAD 6
SYARAT-SYARAT IJTIHAD 7
BAGIAN DAN TINGKATAN IJTIHAD 9
HUKUM IJTIHAD 10
METODE IJTIHAD 11
PENUTUP
12
KESIMPULAN 12
DAFTAR
PUSTAKA 13
PENDAHULUAN
Kajian akan difokuskan pada urgensi ilmu ushul al-fiqh
dalam kegian ijtihad atau istinbat secara umum, yang secara terperinci meliputi
artikulasi posisi ilmu ushul, pengertian ushul Al-Fiqh, sejarah lahirnya dan
berkembangnya, asy-Syafi’I sebagai “guru arsitektur” ushul Al-Fiqh, peran dan
urgensi ushul fiqh sebagai metode istinbat hokum islam, perbandingan istiklal
lima majhab Sunni, yaitu Hannafi, Maliki, Safi’I, Hambali, dan Zahiri.
Kemudian
dilanjutkan pada kajian Ijtihad,sebagai kerangka teoritik untuk membedah fiqh
pesantren yakni meliputi definisi, syarat-syarat ijtihad, kontroversi sekitar
tertutupnya pintu ijtihad dan menegaskan wilayah muamalat sebagai objek usul
yang sangat luas, bersifat dinamis.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad
Ijtihad secara terminologis diambil dari kata dasar
(mujarrad)-nya Al-Jahd atau Al-Juhd berarti Al-musyaqqah yaitu kepayahan,
kesulitan, atau kesungguhan. Menurut Ibn Manzur, bahwa al-ijtihad atau
at-tahajud berarti mencurahkan kesanggupan dan kesungguhan yang mengikuti wazan
Al-Ifti’al dari kata dasar al-juhd, yaitu kemampuan. Menurut As-Sa’d
At-Taftazani, sebagaimana dikutip Nadiyah Syarif Al-Umari, bahwa secara
etimologis kata ijtihad digunakan untuk menyebut pekerjaan yang berat dan
sulit, bukan untuk pekerjaan yang ringan dan mudah. Sehingga istilah ini
dipakai untuk sebutan aktivitas penggalian hokum islam dari sumber-sumber
aslinya, karena aktivitas ini memang menuntut suatu kesungguhan, baik secara
teoritis maupun praktis.[1]
Adapun
secara terminologis, para ulama ushul telah memberi definisi yang berbeda-beda.
Tetapi menurut Al-‘Umari secara umum definisi-definisi itu dapat
diklasifikasikan menjadi empat definisi menurut karakteristiknya masing-masing.
1.
Menurut Al-Qadi
Al-Baidawi, sebagaimana dikutip Al-‘Umri, bahwa ijtihad adalah “mencurahkan
kesungguhan dalam rangka memperoleh hukum-hukum syara”.
2.
Definisi
Al-Gazali, ijtihad adalah “mencurahkan kesungguhan dalam rangka memperoleh
hokum-hukum syara”
3.
Definisi menurut
Ibn Al-Hujib, sebagaimana dikutip Al-‘Umari “pencurahan segenap kemampuan ahli
fiqh untuk memperoleh prasangka dalam hokum syar’i”
4.
Definisi
Al-Kamal Ibn Al-Human, sebagaimana dikutip Al-‘Umari “pengerahan kemampuan
dalam rangka, memperoleh hokum syar’i baik yang bersifat aqli maupun nagli
maupun zanni”.[2]
Sedangkan
ijtihad secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta
seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata ini berarti kesanggupan,
kekuatan, dan berat. Secara bahasa, arti ijtihaad dalam artian jahada terdapat
di dalam Al-Quran surat An-Nahl(16) ayat 38, surat An-Nur (24) ayat 53, dan
surat Fathir (53) ayat 42. Semua kata
itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan, ataua juga berarti
berlebihan dalam bersumpah. Dalam Al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda
Nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”. Dan
hadist lain yang artinya “Rasullah SAW, bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhit(bulan Ramadan).[3]
B. Dasar-Dasar
Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hokum ijtihad ialah Al-Quran
dan Al-Sunnah. Di antara ayat Al-Quran yang menjadi dasar Ijtihad adalah
sebagai berikut:
Sesungguhnya
kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat. (QS.Ar-Rum(30) : 21)
Adapun
sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantara hadist ‘Amr bin Al-Ash yang
diriwayatkan oleh imam Buhkhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda:
Apabila seorang
hakim menetapkan hokum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika menetapkan hokum dalam ijtihad itu
salah maka ia mendapatkan satu pahala. (Muslim).
Hadist
lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadist Mu’adz Bin Jalal ketika ia
diutus Nabi ke Yaman sebagai hakim :
Dengan apa kamu
memutuskan perkara Mu’adz menjawab:” dengan sesuatu yang terdapat di dalam
kitab Allah. “ Nabi bersabda:” saya akan memutuskannya dengan sesuatu yang
telah diputuskan oleh Rasul Allah.” Nabi berkata: “ kalau kamu tidak mendapat
sesuatu yang telah diputus oleh Rasul Allah?” Mu’azd menjawab: “saya akan
berijtihad dengan pikiran saya.” Nabi bersabda: “segala puji bagi Allah yang
telah member taufiq kepada utusan dari rasul-NYA”.(Ali Hasab Allah,1971:82).[4]
C. Syarat-Syarat
Ijtihad
Para
ulama berpendapat dalam menentukan syarat-syarat yang harus dimikili oleh
seorang mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad. Sebelum
dikemukakan beberapa pendapat ulama mengenai syarat-syarat mujtahid, ada
baiknya di jelaskan dulu mengenai rukun ijtihad, yaitu sebagai berikut.[5]
1.
Al-waqi’ yaitu
adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh
nash.
2.
Mujtahid, ialah
orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan antuk berijtihad dengan
syarat-syarat tertentu.
3.
Mujthahid fih
ialah hokum-hukum syariah yang bersifat amali(taklifi).
4.
Dalil syara
untuk menentukan suatu hokum bagi mujthahid fih (nadiyah Syafari Al-Umari).
Menurut
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, syarat-syarat bagi mujtahid ada
dua,pertama mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga
dapat mendahulukan yang seharusnya di dahlukan dan mengakhirkan sesuatu yang
seharusnya diakhiri. Kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak
keadilannya.[6]
Menurut
fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain Al-Razi, syarat-syarat mujtahid
adalah sebagai berikut.
1.
Mukalaf, karena
hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapn hokum.
2.
Mengetahui
makna-makna lafad dan rahasianya.
3.
Mengetahui
keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.
4.
Mengetahui
keadaan lafad, apakah mamiliki qirinah atau tidak.
Menurut
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, syarat-syarat mujtahid sebagai
berikut.
1.
Mengetahui
Al-Quran dan AL-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hokum.
2.
Mengetahui ijmak
sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama.
3.
Mengetahui
bahasa arab karena Al-Quran dan As-Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4.
Mengetahui ushul
fiqh.
5.
Mengetahui
nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan dalil yang
sudah mansukh.
D.
Bagian Dan Tingkatan Ijtihad
E. Hukum
Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan
kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan
dengan hokum syara’, makan hokum ijtihad bagi orang itu bias wajib ain, wajib
kifayah, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.[7]
Pertama,
bagi seorang muslim yang memenuhi criteria mujtahid yang diminttai fatwa hokum
atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang
begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang
tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hokum ijtihad menjadi wajid ain.
Kedua,
bagi seorang Muslim yang memenuhi criteria mujtahid yang mujtahid lainnya, maka
hokum ijtihad menjadi wajib kifayah.
Ketiga,
hokum berijtihad menjadi sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang
tidak atau belum terjadi.
Keempat,
hokum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qathi’, baik dalam al-quran maupun as-sunnah, atau ijtihad atas
peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma.
F.
Metode-metode ijtihad
1. Ijma’
Adalah
persetujuan para ahli mengenai suatu masalah pada di suatu tempat pada suatu
masa namun kini sukar di cari suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan
untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah yang di
sebabkan luasnya bagian dunia.
2. Qiyas
Adalah menyamakan hokum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di
dalam al-quran dan al-sunnah atau hadist.
3. Maslahat
mursalah
Adalah cara menemukan hokum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya
baik di dalam al-quran maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan masyarakat.
4. Istihsan
Adalah menentukan hokum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang
sudah ada demi keadilan dan kepentingan social.
5. Istishab
Adalah menetapkan hokum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya.
6. Adat istiadat
yang tidak bertentangan dengan hokum islam dapat di kukuhkan tetap terus
berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.[8]
PENUTUP
KESIMPULAN
Sedangkan ijtihad secara bahasa, ijtihad berasal dari
kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata
ini berarti kesanggupan, kekuatan, dan berat. Secara bahasa, arti ijtihaad
dalam artian jahada terdapat di dalam Al-Quran surat An-Nahl(16) ayat 38, surat
An-Nur (24) ayat 53, dan surat Fathir
(53) ayat 42. Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan,
ataua juga berarti berlebihan dalam bersumpah. Dalam Al-Sunnah, kata ijtihad
terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah
dalam berdoa”.
Adapun yang berkaitan dengan dengan ijtihad sebagi
berikut.
·
Dasar-Dasar
Ijtihad
·
Syarat-Syarat
Ijtihad
·
Bagian Dan Tingkatan
Ijtihad
·
Hukum Ijtihad
·
Metode Ijtihad
DAFTAR PUSTAKA
Abdul mughtis,kritik
nalar fiqh pesantren,kencana,Jakarta,2008
Atang
Abdul Hakin Dan Jaih Mabarok,Methodology
Study Islam,Pt Remaja Rasda Karya,Bandung,2012
www. Academia. Edu/2310373/islam-law-istinbath-ijtihad-tsawabit-and-muthaqayyirat-concept
No comments:
Post a Comment