Thursday, July 3, 2014

PERBANDINGAN KONSEP DALAM ILMU KALAM



PERBANDINGAN KONSEP DALAM ILMU KALAM
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Ilmu Kalam
Dosen : Andi Cahyono
Di Susun Oleh:
Dina Rahmawati         (122231049)
EriNurdiana                (122231058)
Fariska Yosi Iryanti    (122231065)


PROGAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
2013/2014

KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah Swt., Tuhan Semesta Alam. Shalawat dan salam semoga senatiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman nanti.
            Pemakalah ingin mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan  yang telah menggunakan makalah ini, serta memberikan banyak sekali saran, masukan dan inspirasi untuk dapat lebih efektif  dalam menyampaikan hasil diskusi oleh team pemakalah. Pikiran yang jernih, inspirasi dan ketekunan pemakalah ini tidak akan terwujud tanpa dukungan penuh oleh sahabat dan keluarga yang dengan kasih sayangnya memberi ketenangan dan dukungan untuk menyelesaikan makalah perbandingan konsep dalam ilmu kalam.






Surakarta, Desember 2013

Pemakalah

DAFTAR ISI



COVER…………….……..…..……………….………………………………………………1





BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Persoalan kalam lainya yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia, sifat-sifat Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan.Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman.Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahlim, para ulama kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenernya yang mengeluarakan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri?Atau manusia sendiri?Atau kerjasama antara keduanya.Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalam fatalis yang diwakili oleh Qadariayah dan freewill yang diwakili Qadariyah dan Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyahmengambil sikap pertengahan.Persoalan ini kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak?Apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal uang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup kepada hal-hal yang buruk?

B.     Rumusan Masalah
·         Apa yang di maksud perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia?
·         Apa yang di maksud sifat-sifat Tuhan?
·         Apa yang di maksud kehendak mutlak dan keadilan Tuhan?


C.     Tujuan
·         Dapat menjelaskan maksud perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
·         Dapat menjelaskan maksud sifat-sifat Tuhan
·         Dapat menjelaskan maksud kehendak mutlak dan keadilan Tuhan.

D.     

BAB II

PEMBAHASAN


A.      Perbuatan Tuhan Dan Perbutan Manusia
a.        Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. 
1.         Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa Perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.
Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengosekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Allah berikut ini :
a)   Kewajiban Tidak Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau ia member beban yang terlalu berat kepada manusia.

b)   Kewajiban Mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c)    Kewajiban Menepati Janji (al-Wa’d) dan Ancaman (al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduannya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah kewajiban Tuhan.
2.         Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah) sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban.
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberi beban di luar kemampuan manusia. Al-Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia.
3.         Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga memberikan batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Sedangkan Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada manusia diluar batas kemampuannya (taklif ma la yutaq), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Maturidiyah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Pemberian beban yang terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.

b.             Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Akar dari perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak.
1)        Aliran Jabariyah
Tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peran didalamnya.
2)        Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak mendapatkan hukuman atas kejahatan yang diperbuatannya.

3)        Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free will. Menurut Al-Juba’i dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemampuannya sendiri. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
4)        Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari pendiri aliran Asy’ariyah, memakai teori al-kasb (perolehan). Teori al-kasbAsy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Dan pada prinsipnya, aliran Asy-ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.
5)        Aliran Maturidiyah
Ada pendapat antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi sama-sama dengan perbuatannya. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam Mu’tazilah.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta,dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. [1]
B.       Sifat-Sifat Tuhan
Ayat-ayat Al-Qur’an telah mengisyaratkan kepada sebagian sifat-sifat yang wajib pada Allah dan sifat-Nya yang dikehendaki oleh kesempurnaan ketuhanan-Nya.
Pertama, tentang wujudullah (adanya Alah). Ayat yang menerangkan adanya Allah terdapat dalam surat Ar-Ra’du [13] 2, Al-Anbiya, An-Naml dan dalam surat yang lainnya.
Kedua, tentang kekadiman Allah dan kebaqaannya. Yaitu Allah tidak berpermulaan dan tentang kebaqaannya diungkapkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an surat Al-Hadid [57]:3.
Ketiga, tentang mukhalafatullahi lil hawaditsi (tidak bersamaan Allah dengan makhluk-Nya). Sifat Allah ini diungkapkan dalam surat Al-Ikhlas.
Keempat, qiyammullahi ta’ala binafsihi (tentang Allah menyelesaikan segala sesuatu dengan dirinya, tidak memerlukan sesuatu makhluk). Qs. Fathir [35]: 15
Kelima,  tentang wahdaniyatullahi ta’ala (tentang keesaan Allah). Sifat ini diungkapkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an (QS. An-Naml 27:53, QS. Al-Maidah 5:74 dan masih banyak surat lainnya) dan sungguh banyak ayat yang menerangkan tentang ke-Esaan Allah baik pada zat-Nya, pada sifat-Nya, dan pada perbuatan-Nya. Tak ada yang memelihara selain-Nya.
Keenam, tentang kudrat Allah (kekuasaan Allah). Banyak ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah maha kuasa dan kuasanya berlaku menurut kehendak-Nya. (QS. Al-Had 22:1, 7. QS. Al-Kahfi 18:31, dll)
Ketujuh, tentang iradah Allah (kehendak Allah). Ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah berkehendak dan kehendak-Nya itu mutlak, tak ada yang memalingkan kehendak-Nya itu, yaitu Qs. Yasin 36:82. Qs. Al-Isra’ 17:16. Qs. An-Nisa’ 4:4, dll).
Kedelapan, tentang ilmu Allah. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan bahwa Allah berilmu, mengetahui segala-galanyabaik nyata atau yang tersembunyi, baik yang besar maupun kecil. (Qs. Saba’ 34:2, Qs. A’raf 7:88, Qs. Luqman 31:16).
Kesembilan, hayyatullah (hidup). Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Allah senantiasa hidup bersifat dengan kehidupan yang sempurna yang tak ada kesempurnaan yang melebihi-Nya. (Qs. Al-baqarah 2:255, Qs. Ali Imran 3:4).
Kesepuluh, tentang sama’ Allah dan Bashar-Nya (mendengar dan melihat). (Qs. Al-Mujadalah 58:1, Qs. Al-Alaq 96:74).
Kesebelas, tentang kalamullah. Bahwa Allah berkata-kata dan Allah bersifat dengan kalam. (Qs. An-Nisa’ 4:164, Qs. Al-Baqarah 2:75).[2]

Dalam hal ini yang menjadi perdebatan diantara aliran kalam adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Ini tampaknya dipicu oleh truth claim[3] yang dibangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim menauhidkan Allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat menyucikan dan memelihara keesaan Tuhan.
Perbedaan antara aliran kalam temtang sifat-sifat Allah tidak terbatas pda persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan esensi Al-Qur’an.
1.         Aliran Mu’tazilah
        Aliran Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan denganmengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisinya tentang Tuhan bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat, dan sebagainya. Ini tidak berarti Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, dan sebaginya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi bukan dengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan.
2.         Aliran Asy’ariah
Aliran ini membawa penyelesaian yang berlawanan dengan faham mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut Al-asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatan-Nya, di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya. Al-asy’ari lebih jauh berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat dan sifat-sifat itu, seperti memiliki tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. Selanjutnya al-asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) – tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.
3.         Aliran Maturidiyah
Maturidiyah Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat.  Maturidiyah Bukhara juga berpendapat Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi takwil.Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai mata dan tangan, bukanlah Tuhan mempunyai anggota badan.[4]
C.      Kehendak Mutlak Tuhan  Dan Keadilan Tuhan
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu.Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan unik.[5]
Adapun beberapa aliran yang perpendapat tentang kemutlakan dan keadilan Tuhan, antara lain;
1.      Aliran  Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya.Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi.Ketidak mutlakan kekuasaan Tuhan itu di sebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah.
Kebebasan manusia yang memang diberikan Tuhan kepadanya, baru bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya.Demikian pula keadilan Tuhan, membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam pemahaman Mu’tazilah,Tuhan tidaklah memperlakukan kehendak dan kekuasaan-Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas. Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri bagi diri-Nya.[6]
Perbuatan Tuhan tidaklah bertujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan makhluk dan perbuatan-Nya itu selalu baik.Kebaikan itu bermakna bila Tuhan tidak berbuat zalim dengan membebani manusia yang tidak terpikul dan menyiksa pelaku perbuatan buruk dengan paksaan tanpa member kebebasan terlebih dahulu.Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi makhluk dan member kebebasan kepada manusia.Adapun kehendak mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan itu sendiri.
2.      Aliran Asy’ariah
Kaum Asy’ariyah, karena percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap mahluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya.Tuhan dapat member pahala kepada hamba-Nya atau member siksa dengan sekehendak hati-Nya, dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya karena Dia adalah penguasa mutlak.Sekiranya Tuhan menghendaki semua makhluk-Nya masuk ke dalam surge atau pun neraka, itu adalah adil karena tuhan berbuat dan membuat hokum menurut kehendak-Nya.[7]
Aliran Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya.Manusia berkehendak setelah Tuhan sendiri menghendaki agar manusia berkehendak.Makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap mahkluk-Nya da dapat berbuat sekehendak hati-Nya.
3.      Aliran Maturidiyah
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan tuhan, aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.Maturidiyah Samarkandmempunyai posisi yang lebih deket kepada Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil daripada yang diberikan aliran Mu’tazilah.
Kehendak mutlak menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan.Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.Adapun Maturidiyah Bukharaberpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak.Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya.Tampak, aliran Maturidiyah Samarkandlebih dekat dengan Asy’ariyah.Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
4.      Ibnu Rusyd
Dalam soal baik dan buruk ia lebih condong kepada pendapat aliran Mu’tazilah, tetapi dalam soal keburukan dunia, pendapat berbeda. Ia mengatakan bahwa baik dan buruk kesemuanya dijadikan Tuhan dan dikehendaki-Ny pula. Kalau dalam baik, baik itu sendiri yang dituju, tetapi dalam buruk, bukan buruk itu sendiri yang dituju, tetapi karena ia sebagai jalan kepada kebaikan.[8]
Ibnu Rusyd sependapat juga dengan aliran Mu’tazilah, bahwa Tuhan tidak menghendaki dan tidak mengadakan kekafiran bagi hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Tuhan mengadakan kekuatan yang bias digunakan untuk kedua hal yang berlawanan (iman dan kafir).[9]
Contoh kasus:
Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan yang ada dalam diri manusia, seperti gerak yang diciptakan Allah dalam seluruh benda-benda mati. Manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi seperti pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam, langit cerah dan mendung serta hujan dan sebagainya.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Akar dari perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak.
Sifat-Sifat Tuhan
Perbedaan antara aliran kalam temtang sifat-sifat Allah tidak terbatas pda persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme melihat Tuhan, dan esensi Al-Qur’an.
Kehendak Mutlak Tuhan  Dan Keadilan Tuhan
Pangkal persoalan kehendak mutlak dan keadilan Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.Sebagai pencipta alam, Tuhan haruslah mengatasi segala yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu.Ia adalah eksistensi yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya ia difahami sebagai eksistensi yang esa dan unik.

DAFTAR PUSTAKA



Hanafi, Ahmad. 2001. Teologi Islam (Ilmukalam).Bulan Bintang. Jakarta.
Rozak, Abdul Dan Rosihon Anwar. 2013. Ilmu Kalam Edisi Revisi.  CV Pustaka Setia. Bandung
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 2009. Sejarah &Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. PT Pustaka Rizki Putra. Semarang.
Rozak ,Abdul Dan Rosihon Anwar. 2011. Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia. Bandung.


[1] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm. 153-166.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah &Pengantar Ilmu Tauhid/kalam. Semarang. PT. Pustaka Rizki Putra. 2009. Hlm 152-154
[3]truth claimAdalah Klaim kebenaran agama.
[4]Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam edisi revisi.  CV Pustaka Setia. Bandung. 2013. Hlm 213
[5]Rosihon anwar, adbul rozak.opcit. Hlm. 181
[6]Ibid. hlm. 182-183
[7]Ibid. hlm. 184-185
[8]Ahmad hanafi.Teologi Islam(Ilmu Kalam).jakarta.bulan bintang. 2001. Hlm. 171
[9]Ibid. hlm. 172

No comments: