Thursday, July 3, 2014

MAKALAH TAFSIR BI AL-RA’YI



TAFSIR BI AL-RA’YI

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Tafsir
Dosen: Muh. Julijanto, M.Ag
Di Susun Oleh:
Nama   : Fariska Yosi Iryanti
Nim     : 122231065
Kelas   : PBS-B

PRODI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMIKA DAN BISNIS ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
KATA PENGANTAR

          Allhamdulillah, patut dipanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi atas selesainya penulisan makalah ini. Kita yakin, tanpa taufik dan hidayah-Nya, tak mungkin tulisan ini dapat dirampungkan. Shalawat dan salam di persembahkan kepada Nabi Besar Muhammad saw, semoga beliau senantiasa dirahmati Allah.
            Belakangan ini kajian tentang wanita semakin marak. Banyak yang mempublikasikan kegiatan-kegiatan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan wanita. Makalah ini mencoba mendalami pemahaman-pemahaman yang dibawa oleh Al-Quran berkenaan dengan kaum wanita. Dan makalah ini diharapkan dapat menghadirkan pemahaman yang tepat dan komprehensif tentang wanita sebagaimana dideskrpsikan di dalam Al-Quran.
            Demikian, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam rangka memperkaya khazanah intelektual islami kita berkenaan dengan konsepsi wanita dalam Al-Quran





Surakarta, Oktober 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Cover                                                                                      1
Kata Pengantar                                                                        2
Daftar Isi                                                                                 3
Pembahasan                                                                            4
Penciptaan Dan Status Wanita Menurut Al-Quran                 5
Perbedaan Dan Kesamaan Wanita Dengan Pria            6
Hak Dan Kewajiban Wanita                                          9
Poligami                                                                         12
Busana Muslimah                                                                   14
Penutup                                                                                   16
Kesimpulan                                                                             16
Daftar Pustaka                                                                         17






PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sudah dimaklumi bersama bahwa Al-Quran hanya turun selama masa tasyri, yakni sekitar dua dasawarsa, tepatnya sampai Rasulullah wafar pada tahun 632 M. itu berarti, sejak sepeninggalan beliau sampai sekarang Al-Quran tidak pernah turun lagi. Dengan demikian, apa yang telah diturunkan Allah 15 abad yang silam itu tak akan pernah berubah, apalagi bertambah, juga tidak pernah mengalami revisi. Bahkan, satu titik pun tidak ada perbedaan antara Al-Quran yang kita jumpai sekarang dengan yang turun dimasa tasyri itu.
Sementara itu, masyarakat atau umat senantiasa berubah dan berkembang, bahkan laju perkembangannya, terutama di abad modern seperti sekarang, terasa sangat cepat dalam berbagai bidang, baik fisik-material maupun mental-spiritual. Hal itu terutama disebabkan oleh penemuan-penemuan yang spektakuler di bidang IPTEK sehingga membuat kehidupan umat makin maju dan dinamis.
B.     Rumusan
·         Apa yang di maksud penciptaan dan status wanita menurut Al-quran?
·         Apa perbedaan dan persamaan wanita dengan pria?
·         Apa hak dan kewajiban wanita?
·         Apa itu poligami?
·         Bagaimana busana muslimah itu?
C.    Tujuan
·         Dapat menjelaskan penciptaan dan status wanita menurut Al-quran.
·         Dapat menjelaskan perbedaan dan persamaan wanita dengan pria.
·         Dapat menjelaskan hak dan kewajiban wanita.
·         Dapat menjelaskan poligami.
·         Dapat menjelaskan busana muslimah.
PEMBAHASAN

A.   Penciptaan Dan Status Wanita Menurut Al-Quran
Bahwa eksistensi wanita di alam ini diakui oleh Al-Quran adalah suatu kenyataan yang tak dapat dibantah. Bila kita amati ayat-ayat Al-Quran dari awal sampai akhir, akan ditemukan tak kurang dari 85 kali Tuhan menyebut lafal “wanita”, seperti niswat, nisa’, imraat dan sebagainya.[1]
Wanita menurut Al-Quran, bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam melainkan dari unsur yang sama dengan unsur Adam, yaitu tanah. Maka hadist Nabi yang menginformasikan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam perlu diberi penjelasan yang memadai agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahaminya.[2]
Itu berarti, wanita dan pria itu adalah setara; tak ada kelebihan yang satu dari yang lain dari segi asal kejadian. Namun, bagaimanapun juga, antara keduanya makhluk itu tetap ada perbedaan yang sangat mendasar, baik dari segi fisik maupun mental sebagaimana tersirat di dalam hadist yang dikutip di muka. Tetapi perbedaan tersebut hanya sekedar untuk membedakan kelompok masing-masing, tidak menunjukan yang satu lebih mulia dari yang lain, atau yang satu lebih berkuasa dari yang lain.[3]
Pria dan wanita, satu sama lain, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Tak pernah Al-Quran menyatakan yang satu lebih mulia dari yang lain. Tuhan menginginkan terciptanya suasana kebersamaan dan saling menghormati antara pria dan wanita agar tercipta suatu masyarakat muslim yang kompak dan bersatu padu. Dengan tercipta kondisi yang demukian maka akan terbuka kesempatan yang amat luas bagi pengembangan diri pribadi, keluarga dan masyarakat, demi meraih kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.[4]
B.   Perbedaan Dan Persamaan Wanita Dengan Pria
            Perbedaan Wanita Dan Pria:
1.      Fisik.
Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa fisik dan postur tubuh wanita berbeda sekali dari pria. Kalau tubuh wanita tampak lemah-gemulai, halus, cantik-jelita dan sebagainya, maka tubuh pria sebaliknya: kasar, tegap dan kekar, gagah-perkasa, dan sebagainya.[5]
2.      Tabi’at.
Kalau tabi’at wanita lemah lembut, budi bahasa yang halus, suara yang merdu, dan sebagainya, maka pria sebaliknya, yakni keras, kasar, pemberani, suara besar dan sebagainya.[6]
3.      Tugas Dan Tanggung  Jawab.
Tugas-tugas seperti hamil, melahirkan, menyusui dan sebagainya, adalah tanggunga jawab kaum wanita, tak dapat diserahkan kepada kaum pria. Tapi, menyediakan nafkah dan semua fasilitas serta kebutuhan wanita(istri) adalah tugas pria. Karena itulah, dia dipercayakan menjadi pemimpin keluarga sebagaimana yang di tegaskan Allah di dalam surat al-Nisa’:34. Jadi keselamatan dan penyediaan semua kebutuhan keluarga adalah tugas dan tanggung jawab pria(suami), sementara pelaksanaan tugas tersebut di dalam keluarga seperti merawat, mendidik serta mengasuh anak dan sebagainya lebih banyak terpikul di pundak kaum wanita(istri).[7]


Persamaan Wanita Dengan Pria:
1.      Status
Dari segi asal-usul kejadiannya, telah diakui bahwa wanita sama dengan pria. Namun, yang dipersilihkan oleh ulama ialah tentang teknis penciptaannya, apakah dari tanah seperti Adam atau dari diri Adam sendiri.[8]
2.      Tanggung Jawab
Tanggung jawab dalam suatu tugas, baik wanita maupun pria, adalah sama. Artinya, di hadapan hukum, kedua insan yang berlainan kelamin itu tidak berbeda. Baik Al-Quran maupun hadist, keduanya menjelaskan kesamaan status wanita dan pria di muka hukum. Kedua jenis itu tidak ada perbedaan, kecuali dari segi besar-kecilnya hukuman sesuai tindakan kejahatan yang dilakukan. Demikian juga pula upah amal, keduanya juga sama-sama berhak memperolehnya sesuai dengan amal masing-masing.[9]
3.      Memperoleh Pendidikan
Islam menganjurkan agar anak-anak perempuan di didik sebaik-baiknya. Al-Quran secara tidak langsung, di dalam ayat 35 dari Al-Ahzab, mengisyaratkan perlunya wanita dididik secara baik, sebab tak mungkin mendapatkan wanita yang muslimah, mukminah, serta patuh dan tunduk terhadap ajaran Allah tanpa didikan yang baik.[10]
4.      Mendapatkan Pekerjaan
Dalam memperoleh pekerjaan yang layak, pria dan wanita juga mempunyai hak yang sama. Tentu saja, hal itu disesuaikan dengan kodrat masing-masing. Artinya, pekerjaan yang sifatnya kasar dan berat tentu bukan bidangnya wanita, karena secara fisik mereka tidak sekuat kaum pria. Jadi, secara kodrati wanita dapat diserahkan pekerjaan-pekerjaan yang ringan sesuai dengan kemampuan mereka, namun tidak berarti mereka haram mengerjakan pekerjaan yang berat dan kasar. Perbedaan tersebut lebih mengacu pada fungsi wanita sebagai ibu rumah tangga dan perhiasan dalam kehidupan.[11]
5.      Hak Mengeluarkan Pendapat
Al-Quran selalu menghargai kebeneran. Laki-laki atau perempuan, tidak pernah dihalangi untuk mengeluarkan pendapat, idea tau gagasan. Wanita bebas mengeluarkan pendapat tanpa harus merasa kerdil di hadapan laki-laki dan sebagainya karena mereka mempunyai hak dan status yang sama di sisi Allah.[12]
6.      Hokum Kisas Dan Tebusan (Diyat)
                               I.            Kisas
Hokum kisas terhadap wanita juga berlaku sebagaimana berlakunya terhadap pria. Artinya, tak ada perbedaan antara kedua jenis kelamin yang berbeda itu dalam kasus ini.[13]
                            II.            Tebusan
Wanita juga diwajibkan membayar tebusan(diyat) seperti laki-laki disebabkan tersalahnya melakukan pembunuhan, telah menjadi kesepakatan ulama sesuai sengan firman Allah.[14]
7.      Penyiaran Islam
Pada masa Nabi, ‘Aisyah Ummul Mukminin sering diserahi tugas-tugas yang berkaitan dengan wanita, yang Nabi sendiri sulit untuk memjelaskannya, apalagi bila hal itu berkaitan dengan kasus-kasus yang spesifik wanita seperti haid, nifas, dan sebagainya sehingga ‘Aisyah terkenal sebagai seorang wanita yang paing banyak meriwayatkan hadist dan lebih banyak tau tentang fikih daripada wanita-wanita lainya. Jadi, pria dan wanita, bagi kehidupan umat dimuka bumi ini, bagaikan dua sayap bagi burung. Kedua sayapnya itu harus dapat berfungsi baik secara baik jika ingin selamat sampai tujuan. Demikian pula kehidupan di muka bumi ini, jika ingin selamat sampai ke akhirat maka kedua jenis umat ini, laki-laki dan perempuan harus berfungsi dengan baik dan bekerja sama demi meraih cita-cita bersama yaitu hasanat fi al-dun-ya wa hasant fi al-akhirat.[15]
C.   Hak Dan Kewajiban Wanita
a.       Hak
Kata “hak” berasal dari bahasa Arab “haqq” yang berarti “benar”, atau lawan dari “bathil”, seperti di dalam firman Allah “Yang benar itu dari Tuhan, maka jangan kamu masuk orang-orang yang ragu”. Dari berbagai konotasi tampak pengertian “milik dan kekuasaan” lebih dekat kepada pemahaman kata”hak”.[16]
b.      Kewajiban
Hak dan kewajiban wanita ialah milik atau kekuasaan dan tugas yang harus dilaksanakan oleh wanita.[17]
c.       Hak-Hak Wanita
1)      Waris
Islam dengan amat bijaksana memberikan kepada mereka(wanita) hak waris dengan cara yang sangat tepat dan adil. Namun yang menjadi persoalan di sini ialah wanita mendapat separoh dari bagian laki-laki, padahal Islam telah mengatakan bahwa status wanita dan pria sama, tapi dalam pembagian harta warisan, kenapa berbedaan?[18]
Apabila direnungkan lebih jauh, sebenernya perbedaan pembagian harta warisan satu berbendingan dua(1:2). sebagaimana disyari’atkan oleh Islam seperti ditegaskan dalam ayat-ayat Al-Quran di atas, tidak didasarkan pada saat status seseorang, melainkan atas dasar tugas dan tanggung jawab. Dalam hal ini, kaum pria mendapat beban jauh lebih berat daripada yang dipikulkan di atas pundak kaum wanita. Boleh dikatakan semua tugas kerumah-tanggan, kecuali mengandung, melahirkan dan menyusui, adalah terpikul di pundak pria.[19]
Bahkan untuk menyusui anak kandungnya sendiri pun sang istri harus diupah oleh suaminya. Jadi, dalam hal ini sang istri mempunyai tanggung jawab yang ringan, khususnya dalam memberi nafkah keluarga, malah semua kebutuhannya, mulai makanan, pakaian dan perumahan harus dipersiapkan oleh suaminya. Jadi logikanya, kalau wanita mendapat separoh dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari pembagian pria sebab kekayaan pria pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan sebagaimana telah habis, sebaliknya, kekayaan wanita tetap utuh, tak berkurang, karena bila ia telah bersuami dia tak punya kewajiban untuk member nefkah kepada dirinya dan anak-anaknya.[20]
2)      Kesaksian
Kebolehan wanita menjadi saksi sebagaimana di tegaskan dalam ayat 282 dari surat Al-Baqarah, memperkokoh keyakinan bahwa Allah memang konsisten dakam mengangkat derajat kaum wanita sama dengan derajat kaum pria, sehingga masalah transaksi yang mempunyai resiko tinggi pun mereka di ikutsertakan sejajar dengan pria.[21]
3)      Menentukan Jodoh
Menentukan atau memilih jodoh termasuk hak azazi manusia yang dihormati di dalam ajaran Islam, karena itu Islam member hak tersebut sama kepada pria dan wanita. Dengan perkataan lain, jika pria dibebasan dalam memilih calon istrinya, maka wanita pun berhak pula menentukan calon suaminya di antara pria yang disukainya. Jadi, wali atau orang tuanya tak punya hak untuk memaksa anaknya sebagaimana sering terjadi di masa Jahiliah sebelum kedatangan Islam. Dan kebebasan wanita dalam memilih calon suaminya tetap harus terkendali, tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan ajaran agama.[22]




4)      Menentukan Maskawin
Maskawin merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam perkewinan. Maskawin ialah”sejumlah harta yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan”.[23]
Sebagaimana dikisahkan Allah dalam Al-Quran, ketika Syu’aib hendak menikahkan putrinya dengan Nabi Musa a.s., ia meminta Musa agar membayar maskawinnya dengan bekerja padanya selama delapan tahun. Kemudian oleh Al-Quran, syari’at yang telah diberlakukan pada umat yang lalu itu diteruskan, sehingga sampai sekarang pemberian maskawin dalam suatu perkawinan telah menjadi tradisi yang membudaya.
Dalam kaitan ini Rasulullah senantiasa memberikan mahar yang cukup kepada istri-istrinya, yang menurut riwayat dari Aisyah berjumlah sekitar 500 dirham. Berdasarkan argument dan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa maskawin merupakan suatu keharusan yang wajib dibayar oleh suami kepada istrinya sebagai penghormatan terhadap martabat wanita, tidak untuk membelinya dengan uang sejumlah itu. Jika demikian, maka wanita (calon istri) mempunyai hak penuh dalam menentukan berapa besar mahar yang diinginkan.
Mengingat mahar adalah hak prerogative wanita, maka kewajibannya tergantung kepada si wanita itu sendiri. Artinya jika si wanita mau saja dikawini oleh pria tanpa mahar, tak ada yang dapat mencegahnya. Sebaliknya, jika ia bertahan tak akan kawin tanpa mahar, juga tak ada yang berhak memaksanya. Itulah yang dimaksud bahwa maskawin adalah hak penuh si wanita, tak seorang pun dapat menganggu atau mencampurinya.[24]
5)      Memperoleh Pangan, Sandang Dan Papan
Jika ajaran Islam, terutama berkenaan dengan wanita, dihayati secara jeli, maka akan ditemui bahwa Islam menginginkan wanita itu hidup dengan tentram dan bersenang-senang di tengah keluarga tanpa memikirkan apa-apa tentang pangan, sandang dan papan, kecuali hanya diminta menjaga diri, harta dan anak-anak mereka. Hal itu dimungkinkan karena semua yang berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga itu telah dijamin oleh Islam dengan membebankannya kepada suami(pria). Jadi, wanita tidak dituntut untuk memikul tanggung jawab itu.[25]
d.      Kewajiban Wanita
Kewajiban wanita adalah tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh wanita. Apabila diperhatikan dengan seksama berbagai ayat dalam Al-Quran dan hadist Rasul, maka ditemukan kaum wanita diberi tugas untuk mengasuh anak-anak menjaga dan memelihara kekayaan rumah tangga. Tugas semacam ini kedengaran remeh dan tak bernilai di mata umat. Padahal pekerjaan ini sangat mulia dan strategis sekali karena keberhasilan seseorang dalam hidup dan kehidupan setelah dewasa sering ditentukan oleh pengalaman yang diterimanya selama dalam asuhan ibundanya, terutama ketika masih dalam umur belita (di Bawah Lima Tahun) sebagaimana diakui oleh psikolog kenamaan, Zakiah Daradjat.[26]
D.   Poligami
A      Poligami Sebelum Islam
Tidak dapat dipungkiri bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw yang membawa Islam, agama samawi, umat terdahulu telah mempraktikkan system poligami. Cukup banyak fakta sejarah yang membuktikan kebeneran tesis ini. Di dalam agama samawi yang lain seperti Yahudi dan Kristen juga tak ada larangan berpoligami. Bahkan, dalam agama Yahudi, sebagaiman dikutip Al-Sib’I, kebolehan berpoligami terbatas.
Berdasarkan fakta sejarah, kita dapat berkata bahwa system poligami seperti yang dipraktikan oleh umat pada abad modern sekarang, termasuk Islam, merupakan kelanjutan dari syaria’at yang diamalkan oleh umat-umat terdahulu. Malah dalam Islam, pelaksanaannya jauh lebih teratur dengan persyartan-persyaratan yang ketat, tidak boleh dilakukan semaunya sebagaimana dimasa silam. Jadi tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa system poligami adalah ajaran Islam saja dan bahkan dikatakan Muhammadlah yang mempeloporinya. [27]

B       Poligami Dalam Islam
Tuhan memperbolehkan kawin sampai jumlah empat orang itu merupakan jalan keluar atau solusi agar tidak mengganggu, apalagi menzalimi, hak-hak anak yatim. Namun untuk mengawini wanita lebih dari satu orang itu tidak gampang begitu saja, harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, antara lain sanggup berlaku adil. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, maka seseorang tidak dibolehkan mengawini wanita lebih dari satu orang.
Dengan ditetapkannya persyaratan yang ketat serupa itu, maka tampak dan terasa sekali betapa Islam sangat memperhatikan hak-hak wanita secara mendasar sehingga kaum “hawa”. Hak semacam itulah yang tidak diatur di masa silam, sehingga terjadilah poligami tanpa batas sebagaimana telah diungkapkan di muka, yang membuat kaum wanita menderita di bawah bayangan kaum pria karena tak berdaya menghadapinya.
Meskipun Islam membolehkan perpoligami, namun tidak berarti Islam member dispensisasi itu secara bebas kepada setiap pria. Dalam hal ini ada aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh mereka yang akan melakukan poligami, seperti tersebut di dalam kitab-kitab kitap fikih. Di Indonesia, ketentuan tentang poligami ini diatur oleh undang-undang No. 1/1974 tentang perkawinan, khususnya bab I pasal 3 s/d 5 dan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya (PP) No. 9/1975, bab VII, pasal 40 s/d 44. Semua ijtihad ulama fikih dan aturan-aturan yang ditetapkan di dalam undang-undang No. 1/1974 serta PP. No. 9/1975 itu mengacu pada satu tujuan, yakni menjaga kehormatan dan hak-hak wanita agar tidak diinjak-injak oleh kaum pria.
Dalam ayat 3 surat Al-Nisa’ itu paling tidak ada dua ide mendasar. Pertama, kebolehan berpoligami itu merupakan solusi dari problem social yang hidup ditengan masyarakat. Kedua, anjuran untuk menikahi wanita lebih dari seorang bukan merupakan perintah mutlak melainkan kondisioanal.
Dalam pergaulan bebas, apalagi dengan disyahkannya undang-undang tentang homoseksual, jauh lebih jelek dan merusak moral daripada system poligami sebagaimana tealh terasa dampaknya di seluruh dunia berupa makin mewabahnya penyakit AIDS yang amat mengerikan. Setelah memperhatikan ekses negative akibat penyimpangan seksual. Maka jelaslah bahwa solusi yang di berikan oleh Islam jauh lebih terhormat, lebih baik dan manusiawi.
Pada hakikatnya system poligami itu memberikan keuntungan bagi kaum wanita, selama hal itu tidak di salah gunakan oleh pria. Dalam hal ini, tepatlah apa yang di katakana Muthahhari bahwa poligami sebenernya adalah bagain dari hak-hak kaum wanita, agar mereka menjadi terhormat dan tidak di permainkan seperti boneka oleh tangan jahil kaum pria. Jadi dalam kondisi darurat sebagaiman digambarkan itu, seorang istri harus pula bersikap toleran tidak mau menangnya sendiri. Sadarilah bahwa selain anda, ada wanita lain yang juga amat membutuhkan pengayoman dari seorang suami.[28]
E.   Busana Muslim
Suatu hal yang patut disyukuri sejak zaman Orde Baru yang lalu ialah timbulnya kebanggaan para ibu dan wanita Indonesia pada umumnya memakai pakaian muslimah atau apa yang popular dengan sebutan ‘jilbab’. Pada zaman Orde Lama dulu wanita yang memakai jibab dianggap kolot, terbelakang, tidak modern, dan sebutan-sebutan sinis lainnya. Karena itu, mereka merasa lebih bergengsi dan terhormat jika tidak memakai pakaian muslimah itu. Oleh karena itu, pakaian muslimah jarang sekali terpakai kecuali untuk pergi beribadah seperti shalat ke masjid atau hari raya ke lapangan, takziah dan sebagainya.[29]
Kondisi ini sekarang berubah total. Jika dulu wanita muslimah merasa kerdil dan sebagai orang pinggiran bila memakai pakaian muslimah, maka sekarang kebalikannya, yakni mereka merasa lebih berwibawa dan terhormat dengan pakaian jilbab.
        i.   Pengertian
        Kata jilbab, jamaknya jalabib, berasal dari Al-Qur’an seperti termaktub di dalam surat Al-Ahzab ayat 59. Secara lughawi, kata ini berarti “pakaian(baju kurung yang longgar)”. Jilbab adalah model pakaian wanita yang menutup keseluruhan tubuhnya, sehingga yang terlihat hanya kedua matanya saja. Sesuai dengan maksud ayat 59 dari Al-Ahzab, bahwa yang wajib memakai jilbab ialah para wanita, bukan pria.[30]
      ii.   Konsepsi jilbab di dalam Al-Qur’an
        Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:[31]
·         Islam mensyari’atkan pemakaian jilbab dalam upaya menjaga martabat, kesucian dan kehormatan kaum wanita.
·         Kewajiban memakai jilbab hanya bagi wanita-wanita muslimah yang sudah dewasa (telah mulai haid).
·         Islam sengaja tidak menentukan modal tertentu dalam berjilbab agar umat lebih bebas dalam berkreasi sehingga tidak membosankan karena yang dipentingkan ialah menutup aurat, bukan model pakaiannya.
·         Berpakaian dengan busana muslimah merupakan wujud dari rasa patuh dan taat kepada Allah. Dengan demikian, pemakaiannya memperoleh pahala dari-Nya selama diiringi dengan niat yang iklas.







PENUTUP
KESIMPULAN
            Al-Qur’an maupun hadist telah menempatkan kaum wanita pada posisi yang mulia dan terhormat. Dengan demikian, wanita dalam Islam menduduki posisi strategis dan ikut menetukan dalam upaya mencapai keberhasilan, baik untuk kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Islam memperlakukan kaum wanita sama dengan pria. Dalam arti, bahw wanita mempunyai hak dan tnggung jawab yang sama dengan pria, meskipun bidang dan porsinya berbeda-beda.
            Tak ada larangan bagi kaum wanita untuk melakukan aktifitas dalam berbagai lapangan kehidupan, mulai dari perkerjaan rumah tangga, mengasuh anak, melayani suami, terus pekerjaan yang dan jabatan yang tinggi di luar rumahh boleh di duduki oleh wanita. Islam membukakan semua itu kepada wanita, sebagaimana yang dibolehkan kepada pria. Wanita harus mendapat tempat dan kedudukan yang layak di tengah masyarakat sesuai dengan kodrat dan martabat mereka sebagai feminin.
            Islam dengan tegas menghormati hak asasi manusia sejak mulai dia turunkan Allah, sehingga wanita dan pria diberi hak yang sama; baik dalam mendapatkan suatu pekerjaan, menikmati kesenangan hidup dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa islam tidak hanya memuat masalah-masalah ibadah yang merupakan hubungan vertical kepada Allah, melainkan juga berisi masalah-masalah social yang secara horizontal menjalin hubungan dengan sesame manusia.
            Islam dalam menangani masalah kewanitaan tampak sangat rasional dan proporsional. Mulai dari penciptaan dan penataannya, sampai pemberian hak dan tanggung jawab(kewajiban).
           

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nasharuddin Baidan. 1999. Tafsir Bi Al-Ra’yi Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalam Al-Qur’an Mencermati Konsep Kesejajaran Wanita Dalam Al-Qur’an. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.


[1] Nashrudin baidan. Tafsir bi al-ra’yi upaya penggalian konsep wanita dalam al-quran mencermati konsep kesejajaran wanita dalam al-quran. Yogjakarta. Pustaka pelajar. 1999. Hlm. 5-10
[2]Ibid. hlm .10
[3] Ibid. hlm. 11
[4] Ibid. hlm. 19-20
[5] Ibid. hlm. 23-24
[6] Ibid. hlm. 24
[7] Ibid. hlm. 26-27
[8] Ibid. hlm. 28
[9] Ibid. hlm.29-32
[10] Ibid. hlm. 32
[11] Ibid. hlm. 34
[12] Ibid. hlm. 42
[13] Ibid. hlm. 44-47
[14] Ibid. hlm. 47
[15] Ibid. hlm. 48-50
[16] Ibid. hlm. 55-56
[17] Ibid. hlm. 56
[18] Ibid. hlm. 61-64
[19] Ibid. hlm. 64-65
[20] Ibid. hlm. 65
[21] Ibid. hlm. 68-69
[22] Ibid. hlm. 71-76
[23] Ibid. hlm. 76
[24] Ibid. hlm. 77-80
[25] Ibid.hlm. 80
[26] Ibid. hlm. 83-84
[27] Ibid. hlm. 95-97
[28] Ibid. hlm. 98-114
[29] Ibid. hlm. 117
[30] Ibid. hlm. 118-119
[31] Ibid. hlm. 119-133

No comments: