Thursday, July 3, 2014

MAKALAH IJTIHAD DALAM ISLAM



MAKALAH
IJTIHAD DALAM ISLAM


UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
METODOLOGI STUDY ISLAM
DOSEN : DRS.AH KHOLIS H .M.AG
DI SUSUN OLEH KELOMPOK 6 PBS-B:
1.      FARISKA YOSI  IRYANTI                       122231065
2.      FARIDHA  NUR AZIZAH                          122231064
3.      FARADILA N.A                                          122231063
4.      KHUSNUL DIAN                                        122231088

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKATRA
TAHUN AJARAN 2012/2013
KATA PENGANTAR

          Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rosulallah Saw,Tuhan yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Atas berkat rahmat dan hidayahnyalah sehingga penulis makalah ini dapat terselesaikan. Kehadiran makalah ini diharapkan dapat melengkapi tugas dalam methodology study islam. Materi-materi yang disajikan dalam makalah ini, di samping di saring dari berbagai referensi yang memuat informasi mengenai ijtihad para ulama, terutama yang berkaitan dengan pendapat-pendapatnya.
            Makalah tentang ijtihad dalam islam ini akan menjelaskan tentang pengertian ijtihad dan ruang lingkupnya. Di harapkan pembaca makalah ini dapat memahami makna-makna ijtihad.
            Kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama team yang akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini .






                                                                        Sukoharjo, 30 Mei 2013

                                                                                    Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                   2
DAFTAR ISI                                                                                                  3
PENDAHULUAN                                                                                         4
PEMBAHASAN                                                                                            5
PENGERTIAN IJTIHAD                                                                        5
DASAR-DASAR IJTIHAD                                                                    6
SYARAT-SYARAT IJTIHAD                                                                7
BAGIAN DAN TINGKATAN IJTIHAD                                              9
HUKUM IJTIHAD                                                                                  10
METODE IJTIHAD                                                                                 11
PENUTUP                                                                                                      12
KESIMPULAN                                                                                        12
DAFTAR PUSTAKA                                                                                    13






PENDAHULUAN

          Kajian akan difokuskan pada urgensi ilmu ushul al-fiqh dalam kegian ijtihad atau istinbat secara umum, yang secara terperinci meliputi artikulasi posisi ilmu ushul, pengertian ushul Al-Fiqh, sejarah lahirnya dan berkembangnya, asy-Syafi’I sebagai “guru arsitektur” ushul Al-Fiqh, peran dan urgensi ushul fiqh sebagai metode istinbat hokum islam, perbandingan istiklal lima majhab Sunni, yaitu Hannafi, Maliki, Safi’I, Hambali, dan Zahiri.
            Kemudian dilanjutkan pada kajian Ijtihad,sebagai kerangka teoritik untuk membedah fiqh pesantren yakni meliputi definisi, syarat-syarat ijtihad, kontroversi sekitar tertutupnya pintu ijtihad dan menegaskan wilayah muamalat sebagai objek usul yang sangat luas, bersifat dinamis.











PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtihad
               Ijtihad secara terminologis diambil dari kata dasar (mujarrad)-nya Al-Jahd atau Al-Juhd berarti Al-musyaqqah yaitu kepayahan, kesulitan, atau kesungguhan. Menurut Ibn Manzur, bahwa al-ijtihad atau at-tahajud berarti mencurahkan kesanggupan dan kesungguhan yang mengikuti wazan Al-Ifti’al dari kata dasar al-juhd, yaitu kemampuan. Menurut As-Sa’d At-Taftazani, sebagaimana dikutip Nadiyah Syarif Al-Umari, bahwa secara etimologis kata ijtihad digunakan untuk menyebut pekerjaan yang berat dan sulit, bukan untuk pekerjaan yang ringan dan mudah. Sehingga istilah ini dipakai untuk sebutan aktivitas penggalian hokum islam dari sumber-sumber aslinya, karena aktivitas ini memang menuntut suatu kesungguhan, baik secara teoritis maupun praktis.[1]
               Adapun secara terminologis, para ulama ushul telah memberi definisi yang berbeda-beda. Tetapi menurut Al-‘Umari secara umum definisi-definisi itu dapat diklasifikasikan menjadi empat definisi menurut karakteristiknya masing-masing.
1.      Menurut Al-Qadi Al-Baidawi, sebagaimana dikutip Al-‘Umri, bahwa ijtihad adalah “mencurahkan kesungguhan dalam rangka memperoleh hukum-hukum syara”.
2.      Definisi Al-Gazali, ijtihad adalah “mencurahkan kesungguhan dalam rangka memperoleh hokum-hukum syara”
3.      Definisi menurut Ibn Al-Hujib, sebagaimana dikutip Al-‘Umari “pencurahan segenap kemampuan ahli fiqh untuk memperoleh prasangka dalam hokum syar’i”
4.      Definisi Al-Kamal Ibn Al-Human, sebagaimana dikutip Al-‘Umari “pengerahan kemampuan dalam rangka, memperoleh hokum syar’i baik yang bersifat aqli maupun nagli maupun zanni”.[2]
               Sedangkan ijtihad secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata ini berarti kesanggupan, kekuatan, dan berat. Secara bahasa, arti ijtihaad dalam artian jahada terdapat di dalam Al-Quran surat An-Nahl(16) ayat 38, surat An-Nur (24) ayat 53, dan surat  Fathir (53) ayat 42. Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan, ataua juga berarti berlebihan dalam bersumpah. Dalam Al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”. Dan hadist lain yang artinya “Rasullah SAW, bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhit(bulan Ramadan).[3]
B.     Dasar-Dasar Ijtihad
               Adapun yang menjadi dasar hokum ijtihad ialah Al-Quran dan Al-Sunnah. Di antara ayat Al-Quran yang menjadi dasar Ijtihad adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS.Ar-Rum(30) : 21)
               Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantara hadist ‘Amr bin Al-Ash yang diriwayatkan oleh imam Buhkhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
Apabila seorang hakim menetapkan hokum dengan berijtihad, kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika menetapkan hokum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. (Muslim).
               Hadist lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadist Mu’adz Bin Jalal ketika ia diutus Nabi ke Yaman sebagai hakim :
Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz menjawab:” dengan sesuatu yang terdapat di dalam kitab Allah. “ Nabi bersabda:” saya akan memutuskannya dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul Allah.” Nabi berkata: “ kalau kamu tidak mendapat sesuatu yang telah diputus oleh Rasul Allah?” Mu’azd menjawab: “saya akan berijtihad dengan pikiran saya.” Nabi bersabda: “segala puji bagi Allah yang telah member taufiq kepada utusan dari rasul-NYA”.(Ali Hasab Allah,1971:82).[4]
C.    Syarat-Syarat Ijtihad
               Para ulama berpendapat dalam menentukan syarat-syarat yang harus dimikili oleh seorang mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad. Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama mengenai syarat-syarat mujtahid, ada baiknya di jelaskan dulu mengenai rukun ijtihad, yaitu sebagai berikut.[5]
1.      Al-waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nash.
2.      Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan antuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.      Mujthahid fih ialah hokum-hukum syariah yang bersifat amali(taklifi).
4.      Dalil syara untuk menentukan suatu hokum bagi mujthahid fih (nadiyah Syafari Al-Umari).
               Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, syarat-syarat bagi mujtahid ada dua,pertama mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya di dahlukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhiri. Kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.[6]
               Menurut fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain Al-Razi, syarat-syarat mujtahid adalah sebagai berikut.
1.      Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapn hokum.
2.      Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
3.      Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4.      Mengetahui keadaan lafad, apakah mamiliki qirinah atau tidak.
               Menurut Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1.      Mengetahui Al-Quran dan AL-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hokum.
2.      Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijmak ulama.
3.      Mengetahui bahasa arab karena Al-Quran dan As-Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4.      Mengetahui ushul fiqh.
5.      Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat berdasarkan dalil yang sudah mansukh.




D.    Bagian Dan Tingkatan Ijtihad
E.     Hukum Ijtihad
               Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hokum syara’, makan hokum ijtihad bagi orang itu bias wajib ain, wajib kifayah, sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.[7]
               Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi criteria mujtahid yang diminttai fatwa hokum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hokum ijtihad menjadi wajid ain.
               Kedua, bagi seorang Muslim yang memenuhi criteria mujtahid yang mujtahid lainnya, maka hokum ijtihad menjadi wajib kifayah.
               Ketiga, hokum berijtihad menjadi sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
               Keempat, hokum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam al-quran maupun as-sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma.
F.     Metode-metode ijtihad
1.      Ijma’
Adalah persetujuan para ahli mengenai suatu masalah pada di suatu tempat pada suatu masa namun kini sukar di cari suatu cara dan sarana yang dapat dipergunakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu masalah yang di sebabkan luasnya bagian dunia.
2.      Qiyas
Adalah menyamakan hokum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam al-quran dan al-sunnah atau hadist.
3.      Maslahat mursalah
Adalah cara menemukan hokum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-quran maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat.
4.      Istihsan
Adalah menentukan hokum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan social.
5.      Istishab
Adalah menetapkan hokum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya.
6.      Adat istiadat
yang tidak bertentangan dengan hokum islam dapat di kukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.[8]

PENUTUP

KESIMPULAN
          Sedangkan ijtihad secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata ini berarti kesanggupan, kekuatan, dan berat. Secara bahasa, arti ijtihaad dalam artian jahada terdapat di dalam Al-Quran surat An-Nahl(16) ayat 38, surat An-Nur (24) ayat 53, dan surat  Fathir (53) ayat 42. Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan, ataua juga berarti berlebihan dalam bersumpah. Dalam Al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”.
Adapun yang berkaitan dengan dengan ijtihad sebagi berikut.
·         Dasar-Dasar Ijtihad
·         Syarat-Syarat Ijtihad
·         Bagian Dan Tingkatan Ijtihad
·         Hukum Ijtihad
·         Metode Ijtihad

DAFTAR PUSTAKA

Abdul mughtis,kritik nalar fiqh pesantren,kencana,Jakarta,2008
Atang Abdul Hakin Dan Jaih Mabarok,Methodology Study Islam,Pt Remaja Rasda Karya,Bandung,2012
www. Academia. Edu/2310373/islam-law-istinbath-ijtihad-tsawabit-and-muthaqayyirat-concept




[1] Abdul mughtis,kritik nalar fiqh pesantren,kencana,Jakarta,2008,hal,87
[2] ibid,hal,87-88
[3] Atang Abdul Hakin Dan Jaih Mabarok,Methodology Study Islam,Pt Remaja Rasda Karya,Bandung,2012,Hal.99
[4] Ibid.hal,96
[5] Ibid.hal.100
[6] Ibid.hal.101
[7]Atang Abdul Hakin Dan Jaih Mabarok,op.cit.ha.105
[8] www. Academia. Edu/2310373/islam-law-istinbath-ijtihad-tsawabit-and-muthaqayyirat-concept

No comments: